Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ketua DPD REI Sumut, Andi Atmoko Panggabean, mengatakan, pasar rumah subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Sumut sangat tinggi.
Indikator tingginya pasar rumah subsidi tersebut, terlihat dari tingginya permintaan dari masyarakat. Saat ini angka backlog rumah subsidi (rasio antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan) di Sumut mencapai 700.000 unit.
Hanya saja pengembang tidak sanggup memenuhi tingginya pasar rumah subsidi itu karena beberapa hal, diantaranya belum kuatnya keberpihakan perbankan.
"Keberpihakan perbankan belum kuat. Masih hanya BTN yang serius. Harusnya bank-bank lain juga ikut sebab program sejuta rumah yang termasuk di dalamnya rumah subsidi, adalah program pemerintah yang harus sama-sama kita sukseskan," kata Mokoal kepada Medanbisnisdaily.com, Selasa (13/11/2018).
Andi Atmoko atau yang akrab disapa Moko, mengatakan pengembang umumnya masih kesulitan mengakses fasilitas kredit penyediaan lahan dari perbankan. Umumnya kredit penyediaan lahan masih hanya disediakan Bank Tabungan Negara (BTN).
"Karena masih hanya BTN, jadinya selektif pemberian kredit lahan ke pengembang. Artinya kalau banyak bank menyediakannya, tentu semakin banyak pengembang yang berkesempatan mendapatkannya," sebut Moko.
Selain itu, kendala pemenuhan rumah bersubsidi juga karena kredit konstruksi yang belum didukung sepenuhnya oleh perbankan di Sumut. Kredit konstruksi dibutuhkan untuk menjamin kelancaran pembangunan rumah subsidi.
"Lagi-lagi masih BTN yang fokus beri kredit konstruksi. Bank Sumut Syariah memang sudah mulai hadir ya, tapi harapan pengembang sebenarnya semakin banyak bank itu akan semakin bagus, semakin kuatlah para pengembang," tuturnya.
Moko menyebutkan kendala lainnya adalah soal lahan. Dia mengatakan lahan untuk pembangunan rumah subsidi sekarang ini selain sulit ditemukan, juga karena harganya mahal.
"Harga lahan di Deli Serdang misalnya, sudah tinggi, yakni Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per meter. "Sudah mahal harganya dan semakin sulit cari lahan," katanya.
Kendala lain menyangkut masalah perizinan dan birokrasi pemerintah daerah. "Ini masalah klasik sebenarnya, tapi tetap menjadi kendala karena perizinan dan birokrasi yang lama dan sulit, mempersulit dan memperlama penyediaan rumah subsidi," sebutnya.
Ditanya apakah daya beli masyarakat menurun, Moko justru mengatakan daya beli selalu ada. Hal itu karena rumah merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat yang belum memiliki rumah hak milik. "Jadi ekonomi kalaupun dikatakan sulit secara global, itu tidaklah menjadi kendala," tukas Moko.