Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Investasi asing seakan menjadi kata-kata negatif bagi sekelompok orang. Masuknya investasi asing dianggap sebagai penguasaan aset negara oleh asing.
Padahal sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan investasi asing. Masuknya investasi asing juga membantu membuka lapangan pekerjaan.
Bicara tentang investasi asing ternyata juga sudah marak terjadi sejak era Presiden Soeharto. Saat pergantian rezim, pemerintahan Orde Baru melakukan upaya stabilisasi setelah terjadinya gejolak ekonomi yang terjadi di pengujung kepemimpinan Soekarno.
Untuk melakukan hal itu, rezim Orde Baru melakukan berbagai cara. Salah satunya dengan mengundang investasi asing untuk ikut menggerakkan roda ekonomi RI.
Melansir catatan USAID/Indonesia September 1972, Rabu (21/11/2018), dalam periode 1967 hingga 1971 saja, pemerintah Indonesia sudah membuka pintu untuk 428 investor asing dengan total nilai investasi mencapai US$ 1,6 miliar, di luar sektor minyak bumi.
Soeharto dan Soekarno memang berbeda. Secara politik, Soekarno bertentangan dengan negara-negara di kubu blok barat, Amerika Serikat dan sekutunya. Presiden pertama Indonesia itu cenderung memihak blok timur (Rusia dan China).
Sementara Soeharto lebih cenderung memihak blok barat. Terbukti saat dia memutuskan Indonesia kembali bergabung dengan International Monetary Fund (IMF) pada 1967. Sebelumnya pada 1965 Soekarno memutuskan agar Indonesia keluar dari keanggotaan IMF karena permasalahan politik dengab blok barat.
Keberpihakan Soeharto juga semakin terlihat ketika periode liberalisasi berlangsung yakni sejak 1983-1997. Pemerintah Orde Baru melakukan liberalisasi pada sektor industri, pertanian dan pangan.
Dengan memanfaatkan upah buruh yang murah, pemerintah Orde Baru mencoba untuk menarik investor asing. Investor asing juga masuk ke sektor pertanian dengan memproduksi pupuk kimia dan pestisida.(dtf)