Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Merespons penembakan pekerja Trans Papua di Nduga, muncul pandangan agar TNI-lah yang memimpin perburuan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), bukan polisi. Pendapat itu salah satunya muncul dari Ketua DPP Hanura Inas Nasrullah. Perlukah TNI yang memimpin perburuan KKB?
Menurut Komisioner Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Amiruddin, pemerintah perlu mengacu pada definisi KKB yang mengandung istilah 'kriminal' di dalamnya. Penegakan hukum terhadap tindak kriminal menjadi tugas polisi, bukan TNI.
"Seluruh proses penangkapan, pengejaran, dan segala yang berhubungan dengan penegakan hukum dalam peristiwa yang terjadi di Nduga Papua ini terdepan itu adalah aparat kepolisian," kata Amiruddin kepada detikcom, Minggu (9/12/2018).
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ingin agar istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) ditinjau ulang supaya penanganan terhadap gerakan separatisme bersenjata berubah. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga menyoroti peran polisi dan TNI dalam penanganan di Papua. Namun Komnas HAM ingin agar pemerintah konsisten, bahwa penanganan tindak kriminal tetap dipimpin polisi.
"Karena ini Kelompok Kriminal Bersenjata, berarti ini tindak pidana, karena kriminal. Maka menurut undang-undang yang berwenang menindak semua perilaku pidana itu adalah kepolisian, karena dalam rangka penegakan hukum," kata dia.
Moeldoko ingin agar istilah KKB untuk menyebut OPM ditinjau ulang sehingga bisa berimplikasi pada cara penanganannya. "Moeldoko bikin dulu saja apa definisinya, nanti kita lihat, mempunyai kekuatan hukum nggak definisinya. Kita harus jelas di Republik ini," kata Amiruddin.
Amiruddin juga tak mau berandai-andai perihal apakah Papua akan menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). "Kalau mau buat operasi ini kewenangannya Presiden. Sampai sekarang saya belum dengar soal itu," kata dia.
Sebelumnya, Moeldoko menilai aksi penembakan pekerja proyek jembatan di jalur Trans Papua bukan sekadar aksi kelompok kriminal sipil bersenjata (KKSB). Dia menyebut aksi itu kemungkinan dilakukan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Maka perlu ada pembahasan terkait istilah yang digunakan. Hal ini akan berpengaruh pada penanganan yang dilakukan oleh pemerintah.
"Keputusan politik mungkin dibicarakan dengan DPR untuk tentukan istilah. Karena istilah bawa implikasi membawa apa," ucap Moeldoko di kantornya, Jalan Veteran, Jakarta, Rabu (5/12/2018).
Jika disebut kriminal, maka Polri yang menangani. Sedangkan jika gerakan bersenjata atau separatisme, penanganan ada di tangan TNI.
"Mestinya, dengan peristiwa besar seperti ini, kita konstruksi lagi. Kita jujur harus lihat batas kemampuan. Ini di hutan dan sebagainya. Kita lihat batas kemampuan polisi seperti apa," ucap Moeldoko.
Menhan Ryamizard juga memandang perlu dipikirkan peran TNI dan polisi dalam menangani kondisi di Papua, konteksnya adalah penyerangan di Nduga. "Saya katakan ada polisi dengan tentara, harus dibedakan. Ada masyarakat di kampung-kampung, itu polisi. Tapi kalau sudah sampai orang hutan, itu kan nggak ada masyarakat. Ya tentaralah," kata Ryamizard di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (4/12/2018).
Dari pihak partai politik pendukung pemerintahan Presiden Jokowi, Ketua DPP Partai Hanura, Inas Nasrullah Zubir meminta TNI segera mengambil komando penanganan kasus penembakan 31 pekerja proyek Trans Papua. Menurut Inas, penanganan kasus tersebut bukan lagi domain polisi.
"Pembunuhan terhadap 31 orang pekerja oleh kelompok yang mengaku ingin memisahkan diri dari Indonesia bukan lagi tugas kepolisian, karena menyangkut keamanan negara, oleh karena itu TNI yang harus turun mengambil komando," kata Inas saat dimintai tanggapan detikcom, Jumat (7/12/2018).dtc