Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Selama 16 hari sejak akhir November lalu sejumlah komunitas atau lembaga yang biasa melakukan pembelaan terhadap perempuan berkampanye menolak kekerasan terhadap kaum hawa. Dalam segala bentuknya. Di antaranya LBH APIK, Sirkulasi Kreasi Perempuan (Sirkam), Serikat Pers Indonesia (Seruni), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan dan sebagainya.
Melalui berbagai macam kegiatan kampanye mereka selenggarakan. Road show ke sejumlah media, dialog publik dan sebagainya. Sebelum puncaknya besok (10/12/2018) yang bertepatan dengan peringatan hari Hak Azasi Manusia, hari ini, Minggu (9/12/2018), dilakukan longmarch di Lapangan Merdeka Medan. Sembari membagikan selebaran ajakan kepada banyak warga yang tengah berolahraga agar ikut memerangi kekerasan terhadap perempuan.
Orasi, pembacaan puisi serta aksi menandai bagian tubuh yang pernah dilecehkan yang dialami kalangan perempuan, turut mewarnai kampanye di Lapangan Merdeka. Satu tujuan pokok serangkaian kegiatan tersebut adalah mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan menjadi UU.
Oleh Citra Hasan Nasution yang merupakan pendiri Sirkam disebutkan, RUU tersebut berisi upaya pencegahan dan penindakan tindak kekerasan seksual. Dan yang tak kalah penting juga soal pemulihan.
Terangnya, kendati Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sudah jauh sebelumnya dipakai untuk membuat jera para pelaku kekerasan seksual, namun tak cukup ampuh. Terbukti kekerasan seksual kerap terjadi. Dan tak sedikit yang "menghilang", pelakunya tak terungkap, atau luput dari hukuman.
Peristiwa terbaru yang kemudian menjadi berita "besar" adalah pelecehan seksual terhadap mahasiswi UGM saat tengah mengikuti kuliah kerja nyata. Atas alasan nama baik lembaga UGM kasus tersebut kini seperti tenggelam. Pengusutan terhadap pelaku tidak terdengar.
"Di KUHP disebutkan kekerasan seksual harus ada penetrasi kelamin laki-laki terhadap perempuan," terang Citra menjawab medanbisnusdaily.com seusai acara kampanye di Lapangan Merdeka.
Sangat jauh perbedaannya dengan yang disebutkan di dalam RUU. Pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, perkosaan, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi serta pemaksaan perkawinan, semuanya dikategorikan kekerasan seksual.
Pelaku serta alasan kekerasan seksual terhadap perempuan tidak cuma satu, melainkan beragam. Alasan busana seksi yang kerap digunakan wanita tak selalu benar. Pelaku kekerasan seksual adalah kalangan tidak berpendidikan, keliru.
"Terbukti ada kasus bayi yang diperkosa. Ada pula dosen yang melecehkan mahasiswinya. Banyak alasan menyebabkan terjadinya kekerasan seksual pada perempuan," kata Rasina Padeni dari LBH APIK.
Pemulihan korban kekerasan seksual yang menjadi tugas negara yang dimuat di dalam RUU, oleh Citra, dikatakan sebagai sesuatu yang tidak terdapat dalam KUHP. Pemulihan akan membuat korban terhindar dari upaya-upaya menjadikannya korban lagi atau revictimisasi.
"Dengan adanya pemilihan, korban tidak lagi disalahkan dengan berbagai alasan yang bisa membuat dia semakin tersisihkan. Misalnya, siapa suruh pakai pakaian seksi, siapa suruh bepergian tidak bersama teman dan sebagainya," tegas Citra.
Intinya, korban kekerasan seksual tidak cuma tanggung jawab keluarga, tapi masyarakat secara menyeluruh dan juga negara.