Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Lembaga Survei Indoensia (LSI) menyebut masih banyak masyarakat anggap wajar gratifikasi. Hasil ini berdasarkan survei yang dilakukan atas kerja sama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Hasil survei itu menyebut, masyarakat yang menganggap wajar gratifikasi sebesar 34 persen. Sedangkan yang menganggap tidak wajar sebesar 63 persen. Survei dilakukan pada bulan Oktober 2018 di enam provinsi. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 2.000 responden dengan metode multisage random sampling. Sementara itu, untuk toleransi kesalahan survei atau margin error sekitar 2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Dari data yang dimiliki oleh LSI, ada peningkatan jumlah masyarakat yang menyebut gratifikasi adalah hal wajar. Pada tahun 2017, jumlah masyarakat yang mengatakan gratifikasi wajar sebesar 26 persen.
"Mayoritas memang tidak toleran terhadap gratifikasi, tapi ada peningkatan yang mengganggap gratifikasi wajar. Masih banyak yang mengatakan wajar, ini kritik terhadap publik," ucap peneliti LSI Burhanuddin Muhtadi, dalam rilis surveinya, di Hotel Akmani, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (10/12/2018).
Selain itu, masih banyak juga masyarakat yang memberikan imbalan kepada lembaga pelayanan publik. Data LSI menunjukan bahwa warga dimintai uang atau hadiah diluar biaya resmi saat berurusan dengan polisi sebesar 34 persen, pengadilan 26 persen, saat mengurus kelengkapan administrasi 17 persen.
"Warga memberi yang tersebut baik diminta atau tidak diminta, paling banyak memberi dengan alasan agar urusan mereka cepat selesai," ucap Burhanuddin.
Bagi Burhanuddin, hal itu menunjuKkan masyarakat menganggap korupsi adalah tentang uang dengan nilai nominal yang besar. Pungutan atau pemberian senilai ratusan ribu tidak dianggap sebagai sebuah korupsi.
"Korupsi berkaitan dengan big money dan big power. Dalam konteks daerah atau pemberian lebih kecil, itu dianggap bukan korupsi," kata Burhanuddin.
Masalah soal gratifikasi dan pemberian uang diluar biaya resmi puh disoroti oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Dia menginginkan ada zero toleran terhadap tindakan korupsi.
"Misal contoh kecil, soal titip absen. Itu juga harus ada hukuman," ucap Saut dalam acara yang sama.
Menurutnya, perlu ada pemahaman nilai yang sama soal korupsi. Hal ini agar tidak ada lagi pembelaan atau mencari pembenaran soal tindakan korupsi.
"Kalau belum ada value yang sama, mau pake teori sepeti apa, mau pake apa saja, zero toleran nggak ada. 'Duit-duit gue. Mau apa lo,'" ucap Saut.
Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah akan membuat peraturan pemerintah (PP) soal pengendalian gratifikasi. PP ini akan menjadi landasan soal penilaian gratifikasi.
"Ada dua PP yang akan segera dikeluarkan, PP Inspektorat, kedua PP pengendalian gratifikasi. Mudah-mudahan semakin cepat di tandatangani. Mari kita dorong bareng-bareng," ucap Deputi II Kantor Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho.
Menurut Yanuar, PP ini menjelaskan soal pengertian dan batasan gratifikasi. Namun, dia tidak menyebut isi secara spesifik mana yang disebut gratifikasi atau bukan dalam draft PP tersebut.
"Jadi biar tidak ada lagi wilayah yang abu-abu. Jadi biar jelas," ucap Yanuar. (dtc)