Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - BNPB menyebut ada 22 buoy tsunami di perairan Indonesia sudah lama tak beroperasi. Bagaimana solusi pemerintah bisa mendeteksi tsunami?
Kepala Bagian Humas BMKG Taufan Maulana mengatakan pihaknya selalu memberikan informasi terkait potensi terjadinya tsunami saat gempa tektonik. Menurut dia, alat pedeteksi gempa yang dimilikinya masih berfungsi dengan baik.
"Sejauh ini BMKG selalu memberikan infomasi terkait potensi tsunami saat gempa tektonik terjadi. Kalau tidak bisa peristiwa-peristiwa kemaren nggak diinfo dong, terbukti alatnya berfungsi dengan baik," kata Taufan saat dihubungi, Rabu (26/12/2018).
Di sisi lain, Deputi Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT, Wahyu Widodo Pandoe menyebut ada 12 buoy yang tersebar di Laut Sumatera, Jawa, Flores, Maluku dan Banda. Dari 12 buoy, ada 9 buoy yang terbuat dari Indonesia, 2 buoy terbuat Amerika dan 1 buoy terbuat dari Malaysia.
"22 buoy sebenarnya tidak pernah ada, ini cuma misleading, yang kita pasang hanya 12 buoy tersebar di Sumatera, Jawa, laut Flores, Maluku, laut Banda, ini yang buatan Indonesia hanya 9 buoy dan tiga buoy buat Amerika dan Malaysia," kata Wahyu saat dihubungi terpisah.
Selain itu, menurut Wahyu ada 9 buoy yang terbuat Jerman yang dipasang di Indonesia. Namun pemasangan itu tidak menggunakan kapal Indonesia karena buoy berukuran besar dan berat.
"Ada beberapa punya Jerman tapi yang pasang bukan kita, mereka ada 9 buoy. Yang punya (buoy) Jerman harus pakai kapalnya Jerman, kita nggak pasang karena ukuran besar dan berat, kapal kita tidak bisa. Anggaplah itu bantuan Jerman," jelas dia.
Dia mengatakan, buoy yang bisa mendeteksi tsunami hanya bertahan dalam waktu lima tahun. Sebab, bahan buoy yang digunakan dari bahan campuran seperti fiber.
"Tapi memang buoy tsunami punya batas waktu beli alat terus forever, itu waktunya lima tahun terbuat fiber dan bahan campuran. Ada juga yang rusak dan dirusak," kata dia.
Saat ini, masih dikatakan Wahyu, pihaknya tidak membuat buoy karena tidak memiliki anggaran. Butuh biaya besar untuk membuat dan pemasangan buoy di perairan Indonesia.
"Karena program (buoy) itu dihentikan karena tidak ada anggaran, 1 buoy tidak mahal, yang mahal sensor ratusan juta. Sensor tsunami sekitar Rp 200 juta. Instalasi mahal harus gunakan kapal riset, sehari Rp 120 juta kalau kita pasang ujung Sumatera sudah pulang pergi 10 hari, biaya pasang saja pun mahal, sayang sampai dirusak," jelas Wahyu.
Wahyu mengaku sudah pernah mengembangkan teknologi lain bernama Cable Based Tsunameter atau CBT untuk menggantikan buoy. Alat CBT menjadi alternatif untuk mendeteksi terjadinya bawah laut.
"Alternatif kita waktu itu mengembangkan CBT, kabal bawah laut jadi tidak pakai buoy lagi. Langsung sensor bawah laut kedalaman 1.000 meter dari dasar laut. Ini teknologi sudah jalan cuma butuh biaya operasional," tutur dia.
Sementara itu, Kepala Pusat Data dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyebut 22 Buoy tsunami di perairan Indonesia sudah lama tak beroperasi sejak tahun 2012. Ada solusi lain mendeteksi tsunami tanpa buoy. Sutopo mengungkap dalam InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System), buoy tsunami hanya menjadi salah satu bagian dari peringatan dini tsunami.
"Tanpa buoy tsunami, peringatan dini tsunami (EWS) tetap berjalan karena peringatan dini tsunami berdasarkan pemodelan yang dibangkitkan dari jaringan seismik gempa yang terdeteksi. 2-5 menit setelah gempa InaTEWS/BMKG langsung memberikan peringatan dini secara luas kepada masyarakat sesuai alur peringatan dini tsunami. Sistem ini telah berjalan dengan baik," kata Sutopo dalam konferensi pers di kantornya, Jl Pramuka Raya, Jakarta Timur, Rabu (26/12).
Bouy tsunami, menurut Sutopo, hanya untuk meyakinkan bahwa tsunami terdeteksi di lautan sebelum menerjang pantai. Saat tsunami sudah menerjang pantai, tinggi tsunami terdeteksi dari alat/jaringan pasang surat dan GPS di pantai.
"Idealnya dalam InaTEWS semua komponen itu tersedia, baik dari hulu hingga ke hilir. Namun memerlukan peralatan dan biaya operasional yang cukup besar setiap tahunnya," pungkasnya.dtc