Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Divestasi saham Freeport sebesar 51% sebenarnya tidak hanya menunjukan bagaimana negara kita bisa lebih berdaulat terhadap tambang emas di Papua. Lebih dari itu, ada kesempatan bagi negara kita untuk lebih berdaulat terhadap mata uang Rupiah yang kerap dibandingkan dengan US Dolar. Seperti yang kita tahu, dalam tatanan ekonomi saat ini, dimana USA kerap menjadi market leader dalam hal kebijakan moneter, yang terkadang kebijakannya justru mengakibatkan kita harus menyesuaikan dengan posisi kita yang lebih dirugikan.
Seperti yang terjadi belakangan ini. Bank Sentral Amerika Serikat kerap menaikkan suku bunga acuan, yang berdampak sama, di mana kita harus juga menaikkan bunga acuan. Karena jika kita tidak mengikuti pola yang dilakukan oleh Bank Sentral AS, maka Rupiah akan berisiko mengalami pelemahan. Dan faktanya, sekalipun kita mengikuti kebijakan yang mirip dengan bank sentral AS, Rupiah juga tetap terpuruk dari kisaran 13.700 menjadi 15.300-an di semester II 2018 silam.
Belum lagi kerugian yang diakibatkan oleh tren kenaikan suku bunga acuan. Dimana tren kenaikan suku bunga acuan tersebut memicu terjadinya kenaikan bunga kredit yang membuat roda perekonomian nasional semakin sulit untuk diputar. Dan di sisi lainnya, pertumbuhan ekonomi menjadi korban selanjutnya di mana akselerasi pertumbuhan ekonomi tertahan akibat tren kenaikan suku bunga acuan tersebut.
Belum lagi berkaca pada kondisi keuangan negara lainnya yang kerap juga mengalami keterpurukan. Turki, Venezuela, Argentina menjadi contoh negara yang ekonominya masuk dalam kubangan krisis seiring dengan pelemahan mata uang di negaranya masing masing. Berkaca kepada dinamika tersebut maka sudah sebaiknya Indonesia memanfaatkan momentum penguasaan atas PT Freeport untuk dimanfaatkan dalam menstabilkan mata uang Rupiah.
Seperti yang kita tahu saat ini, mata uang di banyak negara saat ini dicetak tanpa harus memiliki cadangan emas tertentu. Namun sistem ini memiliki kelemahan, di mana di saat terjadi pelemahan mata uang dan tekanan inflasi, instrumen moneter seperti penyesuaian suku bunga acuan menjadi alat yang paling efektif dalam meredamnya.
Yang sangat jelas pertumbuhan ekonomi dikorbankan saat terjadi gejolak ekonomi seperti itu. Pengendalian penurunan angka kemiskinan serta penyerapan tenaga kerja menjadi tidak optimal. Kita kerap terjebak dalam kebijakan ekonomi yang cenderung untuk tetap menjaga jarak antara besaran bunga acuan kita dengan bunga acuan Bank Sentral AS di level tertentu, atau dikenal dengan interest rate differential.
Namun, ada harapan agar kita lebih kuat dalam pengendalian Rupiah ke depan. Yakni menjadikan emas yang diproduksi oleh sejumlah perusahaan tambang nasional untuk dimanfaatkan sebagai cadangan instrumen kebijakan moneter khususnya terkait dalam pengendalian inflasi dan nilai tukar Rupiah. Menurut Dirut Inalum, Bapak Gunadi Budi Sadikin, cadangan emas Freeport itu sebesar 1.187 ton atau sekitar $ 469,7 miliar.
Angkanya lebih besar dari cadangan devisa kita saat ini yang berada di kisaran 117-an miliar. Dan angkanya juga lebih besar dari potensi pembalikan modal asing dari tanah air (reversal), yang menurut perhitungan saya, angkanya itu sekitar $ 300 miliar-an. Artinya memang angka sebesar itu sudah mampu menahan laju pelemahan Rupiah ke depan, seandainya semua uang Dolar orang asing, baik itu dalam bentuk pemberian pinjaman/hutang seperti obligasi, SUN dll. Atau dana asing yang terparkir di pasar keuangan (bank dan pasar modal).
Tetapi, kita membutuhkan sebuah aturan main atau regulasi yang bisa mendukung terciptanya upaya untuk menstabilkan uang tersebut. Karena memang pada dasarnya Freeport atau Aneka Tambang ini bukanlah Bank Sentral, namun lebih merupakan perusahaan pertambangan biasa. Yang berorientasi kepada keuntungan, serta bergerakan layaknya perusahaan tambang lainnya.
Regulasi yang dibutuhkan antara lain bisa menopang kemungkinan emas Freeport hanya dijual ke Bank Sentral. Dalam konteks ini ke Bank Indonesia. Mengapa demikian? karena emas Freeport atau perusahaan emas lainnya sejauh ini masih diberi keleluasaan untuk menjual emas kepada banyak pihak. Dan dalam transaksi jual beli emas tersebut dilakukan dalam mata uang rupiah.
Selanjutnya, perusahaan penambang emas diwajibkan untuk memberikan laporan keuangan dalam mata uang rupiah. Tidak lagi menggunakan mata uang US Dolar. Termasuk dalam hal pembagian deviden ke para pemegang saham. Hal ini bisa diupayakan mengingat 51% saham Freeport dimiliki pemerintah, dan 10% dari sisa sahamnya (49%) juga dimiliki oleh pemerintah daerah. Jadi proses pengambilan kebijakannya saya pikir tidak sulit.
Pemerintah daerah (Papua) yang juga memiliki bagian 10% dari 49% tersebut juga diwajibkan untuk menjual emasnya ke Bank Indonesia. Jadi finalisasi regulasinya tidak hanya di tatanan DPR pusat, juga harus melewati DPR di daerah. Memang masih butuh waktu dalam tahapan finalisasinya. Akan tetapi, semua pihak harus menyadari pentingnya emas sebagai instrumen moneter dalam menstabilkan Rupiah.
Selanjutnya, adalah pengelolaan current account deficit (CAD) yang terukur. Agar tidak terjadi permintaan US Dolar yang signifikan dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Jika semua cadangan emas mampu diserap oleh Bank Indonesia, maka ke depan kita akan lebih mampu dalam mengatur kebijakan moneter kita. Lebih leluasa dan lebih kredibel serta lebih kuat dalam menghadapi ancaman pembalikan modal dari tanah air.
Manfaat bagi makro ekonomi kita, di antaranya adalah kebijakan pengendalian suku bunga acuan menjadi lebih ringan, karena tidak harus berpatokan kepada besaran suku bunga acuan negara besar. Tekanan inflasi yang diakibatkan oleh pelemahan Rupiah tidak perlu kita kuatirkan karena emas dapat meredamnya. Dan yang tak kalah penting kita akan lebih optimal dalam pengendalian jumlah angka kemiskinan dan pengangguran.
Bahkan kita akan lebih kuat dalam menghadapi gejolak ekonomi global. Tren penguatan US Dolar terhadap Rupiah maupun sejumlah negara berkembang lain telah memakan korban dengan banyaknya negara berkembang yang membutuhkan dana talangan untuk keluar dari tekanan krisis keuangan. Oleh karena itu semua stake holder di tanah air harus diyakinkan pentingnya regulasi yang memperkuat kebijakan moneter demi kemaslahatan bersama.
*Pengamat Ekonomi