Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Debat capres-cawapres disebut membawa asa bagi sang kandidat untuk dapat merebut suara pemilih. Seberapa besar sih efek debat bagi kemenangan paslon?
"Debat capres bisa menjadi signifikan bagi menang dan kalah capres yang bertarung jika selisih elektoral capres yang bersaingan sangat ketat. Perubahan 2-3 persen saja setelah debat capres, misalnya, bisa menentukan pemenang yang berbeda," kata pakar politik yang juga Founder LSI, Denny JA, dalam keterangan tertulis, Kamis (17/1/2019).
Meski demikian, Denny JA memandang hasil debat capres tidak berlaku untuk Pilpres 2019, setidaknnya jika melihat realitas hasil survei beberapa lembaga survei sebelum debat. Sebab, berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, selisih elektabilitas antara Jokowi-Ma'ruf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno cenderung stagnan. Survei dilakukan sebelum debat capres tapi setelah Reuni 212, di bulan Desember 2018, oleh LSI Denny JA, Indikator, Y-Publica, Alvara dan Charta Politika.
"Walau kelima lembaga ini tak saling berkoordinasi, hasilnya mirip. Jokowi masih menang sekitar 20 persen," katanya.
"(Sehingga) Tidak terlalu relevan membicarakan efek elektoral debat capres terhadap kemungkinan menang dan kalah Jokowi dan Prabowo. Selisihnya sebelum debat masih 20 persen. Menang dan kalah Jokowi versus Prabowo lebih disebabkan oleh variabel lain, di luar debat capres," imbuh Denny.
Menurut Denny, tidak signifikannya dampak debat capres juga tergambar dalam salah satu studi yang ditulis oleh Mitchell Mckinney dan Benyamin R Warner, yang meriset empat era debat presiden Amerika Serikat di tahun 2000 sampai dengan 2012. McKinney dan Warner menilai debat capres tak memberikan efek dramatis bagi suara paslon.
"Tak terjadi perubahan dramatis dari pemilih yang menonton debat capres. Jangan mengharapkan debat capres misalnya mengubah pola: capres yang menang dalam dukungan publik sebelum debat capres menjadi kalah (setelah debat capres). Atau sebaliknya," katanya.
Selain itu, tak banyak pemilih yang mengubah pilihan capresnya pasca menonton debat. Sekitar 86%-90% tetap bertahan dengan pilihan awal sebelum debat.
"Yang lebih terpengaruh berubah pilihan setelah menonton debat capres lebih banyak di kalangan undecided voters. Tapi jumlahnya undecided voters yang berubah, dari belum memilih menjadi memilih capres, hanya 7 persen. Sedangkan yang sudah punya pilihan lalu mengubah pilihannya (dari satu capres ke capres lain) setelah menonton debat, totalnya hanya 3,5 persen. Dan yang sudah memilih calon presiden lalu malah menjadi undecided voters setelah menonton debat capres hanya 3,3 persen," tutur Denny.
Meski tak memberikan efek dramatis, bukan berarti debat capres tidak memberikan pengaruh positif. Masih berdasarkan riset McKinney dan Warner, melalui debat, sang paslon dapat memberikan edukasi politik terhadap publik.
"Setelah menonton debat, secara signifikan warga lebih ingin tahu soal isu. Mereka juga lebih terlibat dalam proses kampanye. Mereka lebih ingin berpartisipasi dalam politik praktis," katanya.
"Belum pula kita tahu untuk kasus di Indonesia, apakah debat capres membangkitkan kegairahan warga mendalami isu. Atau setelah menonton debat mereka akan lebih aktif dalam kampanye?" imbuh Denny.
Di luar studi McKinney dan Warner, ada pula temuan dari peneliti lain yang penting. Denny mengatakan, bahwa setelah menonton debat, pemilih yang sudah menentukan pilihan cenderung hanya memperkuat pilihannya.
"Dan yang mungkin jarang diduga, mayoritas penonton debat, lebih dipengaruhi oleh penampilan capres, gaya berkomunikasi, dibandingkan kedalaman argumen," ujar Denny.
"Seandainya pun debat capres (di Indonesia) baru bernilai hiburan politik, sejenis political entertainment ala talk show itu pun tak mengapa. Kematangan dalam politik, juga dalam hal lain, walau lambat tetap berharga untuk ditradisikan," pungkasnya. (dtc)