Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Greenomics Indonesia mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya membatalkan izin pelepasan hutan untuk sawit kepada PT Hardaya Inti Plantation (HIP). Sebab dari hasil analisis spasial Greenomics, areal kawasan hutan di Buol, Sulawesi Tengah yang setara dengan hampir 10.000 lapangan sepak bola itu 80 persennya masih berupa hutan lebat.
Pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit baru kepada PT HIP tersebut perlu dibatalkan agar tidak mencederai semangat dan substansi Inpres moratorium sawit," kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi dalam siaran pers yang diterima, Jumat (18/01/2019).
Dari catatan Greenomics, Menteri Siti Nurbaya memberikan izin pada 23 November 2018 kepada perusahaan milik konglomerat Hartati Murdaya tersebut.
Vanda menjelaskan, sekitar 75% dari luas areal pelepasan kawasan hutan tersebut tutupannya masih berupa hutan sekunder. Bahkan, sekitar 5% dari luasan areal tersebut, masih terdapat hutan primer.
Kalkulasi Greenomics, Vanda melanjutkan, menunjukkan bahwa dari analisis spasial berbasis data satelit resolusi tinggi, luasan itu relatif sama dengan data penutupan lahan versi KLHK 2017, yang sekitar 80% dari areal pelepasan kawasan hutan tersebut meliputi hutan sekunder dan primer.
Greenomics menyimpulkan sekitar 80% dari luas areal tersebut, jelas tidak relevan dijadikan objek pelepasan kawasan hutan untuk sawit pasca diterbitkannya Inpres moratorium sawit oleh Presiden Joko Widodo pada 19 September 2018 lalu.
Tak hanya itu, Greenomics juga telah mendeliniasi tutupan lahan berupa tanaman sawit yang terbentang di salah satu blok pada areal pelepasan kawasan hutan untuk PT HIP tersebut.
"Tanaman sawit seluas hampir seribu lapangan sepak bola yang telah ada sebelum terbitnya pelepasan kawasan hutan untuk PT HIP tersebut, juga harus diperiksa legalitasnya," papar Vanda.
Greenomics menyimpulkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk PT HIP tersebut merupakan suatu langkah mundur dalam implementasi Inpres moratorium sawit, mengingat sekitar 80% dari areal tersebut masih berupa hutan lebat (hutan sekunder dan primer). (dtc)