Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Tahun 2019 Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyediakan asuransi bagi pembudidaya ikan di air tawar dan air payau. Asuransi ini diharapkan dapat membantu pembudidaya ikan. Namun, Dinas Perikanan dan Kelautan Langkat mengusulkan adanya revisi terhadap kriteria penerima, karena dianggap kurang sejalan dengan era masa kini yang mengarah pada upaya peningkatan kualitas dan produktivitas.
Beberapa waktu lalu, Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan kelautan Sumatera Utara, Agustono mengatakan bahwa tahun ini program asuransi yang disediakan diperuntukkan bagi pembudidaya di air tawar dan air payau. Tahun sebelumnya hanya untuk pembudidaya di air payau.
"Budidaya ikan di air tawar kan juga banyak. Jadi tahun ini mereka masuk dalam kriteria penerima," katanya.
Pada 11 Januari 2019, pihaknya menerima surat dari Dirjen Perikanan Budidaya KKP, tertanggal 10 Desember 2018 tentang usulan calon penerima bantuan pemerintah premi asuransi perikanan bagi pembudidaya ikan kecil (APPIK) 2019. Di surat disebutkan premi APPIK dilaksanakan dalam rangka memberikan jaminan perlindungan dalam usaha pembesaran udang, bandeng, nila, patin di kolam atau tambak dengan metode monokultur/polikultur dengan teknologi sederhana tahun 2019 dengan target 5.000 hektare.
Dengan persyaratan, 2 hektare untuk pembudidaya di air tawar dan 5 hektare untuk pembudidaya di air payau. Pembudidaya juga sudah harus terdaftar dalam database Kartu KUSUKA dan diutamakan sudah tersertifikasi CBIB.
"Surat ini akan kita kirimkan ke kabupaten/kota. Harapannya kabupaten/kota mengusulkan, sehingga tidak hanya satu orang saja seperti 2018," ungkapnya.
Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Kelautan Langkat, Agung Sugiarta mengatakan, adanya asuransi bagi pembudidaya ikan di air tawar dan air payau sangat baik. Namun pihaknya mengusulkan adanya revisi terhadap kriteria penerima asuransi. Karena, di Langkat hanya sedikit saja pembudidaya tradisional/alam. Dia memperkirakan luasnya tak sampai 50 hektare saja dan tempatnya terpisah-pisah seperti di Secanggang dan Pangkalan Susu.
Umumnya, di Langkat, pembudidaya di air tawar sudah semi intensif, yang modal usahanya cukup besar atau di kisaran Rp 20-30 juta/ha. Berbeda dengan budidaya di air payau atau tambak tradisional yang sekitar Rp 5 jutaan/ha.
Di tambak semi intensif, kepadatan ikan 20 ekor/meter2. Jika lahan yang dimiliki 3.000 meter, maka benih yang ditebar minimal 60.000 ekor. Harga benih ikan nila misalnya, Rp 40/ ekor. Dikalikan 60.000 ekor, maka modal yang diperlukan Rp 2,4 juta.
Lalu, dengan populasi ikan sebanyak itu dibutuhkan pakan sebanyak 1 ton yang nilainya setara Rp 16 juta. Ditambah lagi dengan biaya membuang lumpur dan lainnya di lahan, sebesar Rp 1 juta. Biayanya cukup besar. Selain itu, tambak semi intensif membutuhkan putaran kincir untuk memasok oksigen dalam air, yang harus dioperasikan di umur 1-3 bulan. Dalam satu hari menghabiskan 15 liter minyak.
"Jadi kalau asuransi itu untuk tambak tradisional, kita susah mencari siapa yang mau. Kita lihat penerima asuransi kemarin, tak mau lagi karena mengurusnya panjang dan ribet, tapi dapatnya cuma Rp 1,4 juta. Lebih banyak energi dari yang diterima," katanya, Selasa (5/2/2019).
Sebenarnya pihaknya sudah pernah berkonsultasi dan menyamakannya ke pusat tentang perlunya perubahan kriteria penerima asuransi tersebut karena kurang sejalan dengan era sekarang yang mendorong peningkatan produksi dan kualitas.
"Di Langkat ini kebanyakan semi intensif. Ada sekitar 3.000-an hektare. Jadi sebaiknya ada perubahan lah siapa yang menerima. Kriterianya itu diubah. Kami di Langkat berharap seperti itu," katanya.