Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com Medan. Teka-teki kenapa Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi bersikap "lembek" terhadap PT Aquafarm Nusantara (AN), yang berdasarkan hasil investigasi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumut terbukti melakukan pencemaran Danau Toba dan pelanggaran lainnya mulai terjawab. Mantan Pangkostrad itu diduga takut akan diadukan ke sidang arbitrase internasional jika nekat menutup perusahaan asing asal Swis tersebut.
Sebab, ada klausul dalam kontrak karya antara PT AN dengan pemerintah Indonesia saat akan memulai usahanya. Seorang pejabat Pemprov Sumut setingkat eselon II mengungkapkan hal tersebut saat berada di DPRD Sumut, Selasa (12/2/2019).
"Mungkin kekawatiran (sidang arbitrase internasional) itu penyebabnya, sehingga hukuman yang dijatuhkan hanya teguran. Tapi sebenarnya karena pelanggaran yang dilakukan Aquafarm adalah perusakan lingkungan, seharusnya sanksinya tak cuma teguran," kata pejabat yang tak mau disebutkan namanya itu.
Antara pemerintah Indonesia dengan PT AN yang merupakan perusahaan budidaya ikan di Danau Toba, katanya, belum lama ini menyepakati perpanjangan waktu kontrak karya. Namun tidak jelas hingga tahun berapa.
Seperti diketahui, berdasarkan investigasi tim dari Dinas Lingkungan Hidup Sumut ditemukan sejumlah pelanggaran oleh PT AN dalam menjalankan usahanya. Di antaranya volume produksi yang berada di atas daya tampung dan daya dukung Danau Toba, pengguna pakan melampaui ketentuan serta membuang limbah ke danau.
Terhadap pelanggaran tersebut, Gubernur Edy menjatuhkan sanksi teguran. Dengan asumsi hukuman tersebut bisa diperberat hingga pencabutan izin jika PT AN tidak melakukan perbaikan. Diberikan waktu enam bulan bagi perusahaan tersebut memperbaiki pelanggan yang ditemukan.
Atas keputusan Gubernur Edy itu, sejumlah elemen masyarakat pemerhati Danau Toba sangat kecewa.Ktua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Horas Bangso Batak (HBB), Lamsiang Sitompul, misalnya, mengatakan seharusnya izinnya dicabut atau setidak-tidaknya membekukan izin operasional PT AN, karena sudah jelas melakukan pencemaran.
Hal sama juga disampaikan Ketua Perhimpunan Jendela Toba, Mangaliat Simarmata. Menurutnya, sudah jelas berdasarkan investigasi DLH ada pelanggaran dan bukan hanya kali ini saja, namun mengapa sanksi yang diberikan hanya teguran tertulis.
"Saya sangat kecewa. Mestinya ada sanksi tegas biar ada efek jera. Kalau sekadar sanksi tertulis tidak ada pengaruhnya," kata Mangaliat.
Edy menolak disebut hukuman teguran kepada PT AN sikap yang lembek atau tidak tegas. Sesuai aturan, seperti itulah mekanisme yang harus dilakukannya. Diberikan waktu selama 6 bulan agar PT AN membenahi operasional usahanya. Memperbaiki semua temuan pelanggaran.
Jika sampai batas waktu 6 bulan tidak terjadi perbaikan, sanksi berikutnya berupa pembekuan usaha dan pencabutan izin akan dilakukan.
"Ini bukan persoalan tegas atau tidak, peraturan menyebutkan seperti itu. Kita bekukan usaha Aquafarm jika sesuai waktu yang diberikan tidak terjadi perbaikan," terang Edy.
Anggota Komisi B DPRD Sumut, Richard Sidabutar dalam pertemuan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut mengusulkan agar memanggil PT AN agar menjelaskan pelanggaran yang mereka lakukan melalui rapat dengar pendapat. Belum dipastikan kapan rapat tersebut akan direalisasikan.