Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai, yakni defisit pada neraca perdagangan. Bahkan belakangan ini defisit itu semakin membengkak.
Guru besar ilmu ekonomi sekaligus peneliti senior INDEF Didik J Rachbini menilai data defisit neraca dagang yang pada 2018 mencapai US$ 8,57 miliar merupakan bukti bahwa perdagangan RI sangat lemah. Apalagi BPS sebut defisit itu terparah sejak 1975.
"Kita baru mendengar dari lembaga pemerintah sendiri BPS bahwa defisit neraca berjalan merupakan yang terbesar sepanjang sejarah. Ini apa artinya, sektor luar negeri kita lemah, kedodoran, kehilangan strategi ekonomi dan dagang," ujarnya dalam seminar online Jurnalis Ekonomi dan Peneliti Indef, Kamis (22/2/2019) kemarin.
Didik menilai bengkaknya defisit neraca dagang RI belakangan ini salah satunya berkaitan dengan China. Tekor neraca dagang RI menurutnya juga terkait dengan dinamika dan perananan China di kancah global.
"Salah satu yang paling utama adalah defisit perdagangan dengan Cina tekor besar, menganga defisit yang melemahkan perekonomian kita," ujarnya.
Menurut Didik, hal itu membuktikan bahwa Indonssia menjadi pihak yang kalah dan dirugikan. Seharusnya pemerintah mengambil langkah yang tepat.
"Ini adalah faktor penting di mana dalam satu aspek perdagangan Indonesia berada pada pihak yang kalah, dirugikan, terdesak. Tetapi pemerintah tidak terlihat mempunyai strategi diplomasi dagang setidaknya untuk menguranginya," ucapnya.
Sebelumnya Kepala BPS mengatakan, jika melihat ke belakang maka realisasi defisit neraca perdagangan tahun 2018 memang paling terbesar semenjak 1945. Hanya saja, BPS tidak mencatat secara rinci realisasi neraca dagang di saat Indonesia merdeka.
"Kalau kita mundur ke belakang, ada defisit di 2012 mengalami defisit US$ 1,7 miliar, 2013 defisit US$ 4,08 miliar, 2014 defisit US$ 1,89 miliar, 1975 defisit US$ 391 juta. 1945 defisit, tapi kita angkanya terputus di 1945," ujar Suhariyanto di kantor pusat BPS, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Sementara itu, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Yunita Rusanti mengatakan, defisit yang terjadi pada masa silam tidak sebesar yang terjadi di tahun 2018.
"Nggak, kayanya ini (2018) yang paling besar. Tapi sejak kapannya ini kita belum mau menyebut," kata Yunita.
Catatan kegiatan ekspor dan impor sudah ada sejak zaman Belanda. Hanya saja, BPS masih merapikan data-data tersebut, sehingga data yang sudah tersaji rapi tercatat sejak 1975.
"Kalau yang saya sudah yakin ini dari 1975 (defisit). Karena kalau yang sebelum itu kami lagi kumpulin lagi," jelas dia. (dtf)