Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Denpasar. Selama Hari Raya Nyepi, ratusan pecalang dikerahkan untuk patroli di Desa Adat Tuban, Badung, Bali. Menariknya, tak semua pecalang yang bertugas merupakan umat Hindu tapi ada juga yang Kristiani dan Muslim.
Biasanya, pecalang atau polisi adat Bali mayoritas beragama Hindu. Khusus di Desa Adat Tuban, umat beragama lain juga dilibatkan dalam pengamanan Nyepi.
"Total 135 orang terdiri dari pecalang adat dan non-Hindu yang kami berikan kehormatan untuk bertugas. Kebetulan dari pecalang kami ada unsur Muslim dua orang dan satu Kristiani mereka bertugas tersebar diseluruh penjuru desa, siang hari hanya mengisi pos yang ada di Tuban yang kurang lebih ada 15 pos kamling, pura-pura, balai banjar dan batas desa, satgas-ling," kata Bendesa Adat Tuban, I Wayan Mendra di kantornya, Jumat (8/3/2019).
Mendra mengatakan untuk penjagaan selama Tahun Baru Caka 1941 itu pihaknya menggandeng 35 Petugas Keamanan Dalam (PKD), 25 satgas linmas, dan 35 personel dari lingkungan setempat. Selain patroli, para pecalang di posko pecalang ini juga dibantu dengan kamera pengawas (CCTV) di sejumlah titik di kawasan Tuban.
Terkait pelibatan pecalang non-Hindu, Mendra punya alasan khusus. Salah satunya karena mayoritas warganya bukan beragama Hindu.
"Desa Tuban ini adalah desa yang heterogen, rasio penduduk adat berbanding dengan (keturunan) Bugis itu 1:4 kebanyakan mereka adalah teman kami warga Republik Indonesia yang tinggal di Tuban yang tidak memegang KTP adat, sehingga keberadaan mereka sangat banyak, mereka berpartisipasi dengan baik," urainya.
Selain itu, Mendra berpendapat setiap warga memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menjaga lingkungan tempat mereka tinggal. Dia berharap dengan partisipasi ini tidak ada pengkotak-kotakan masyarakat.
"UU menyebutkan bahwa hak dan kewajiban setiap warga itu sama, siapapun warga negara sama kedudukannya dalam negara hukum pasal 27 ayat 1 UU 45. Jadi mereka tinggal disini, bekerja disini dan menggunakan fasilitas di sini, kami lindungi. Mereka kami berikan kesempatan untuk ikut menjaga keamanan, karena keamanan bukan masalah kami saja orang adat tapi semua warga Tuban tanpa terkecuali," jelasnya.
Keuntungan lainnya, Desa Adat Tuban memiliki pecalang bisa bertugas khusus. Masing-masing bisa ditempatkan sesuai pos dan spesialisasi masing-masing.
"Kita rekrut (pecalang non-Hindu) dari poskamling, dan mereka ada di ring 3. Seperti kemarin pawai ogoh-ogoh, penjagaan ring satu pecalang, ring 2 PKD, ring 3 linmas dan ring 4 itu polisi, ring 5 satgas lingkungan. Jadi ada tugasnya, kalau pekerja adat pecalang di depan, kalau pekerjaan dinas nikah itu PKD yang keluar, kalau bandara butuh bantuan PKD yang keluar bukan pecalang," urainya.
Mendra lalu menceritakan saat ia kecil, bentrokan antara warga karena perbedaan suku, agama, masih sering terjadi. Namun, seiring berjalannya waktu masyarakat semakin sadar dan bisa menghormati satu sama lain.
"Kami bangga Indonesia di daerah yang semua orang ikut, jadi warga kita kompak mendukung desa. Mereka dulu pada nggak ngerti hukum, sering terjadi bentrok waktu saya kecil, isme kedaerahan waktu saya kecil. Dengan penduduk tamu dulunya seperti air dengan minyak sering ada bentrok, ada masalah dikit diserang, dipukul, itu (sampai) di tahun 1997 masih ada kecil-kecilan, zaman saya lebih keras dikit, sampai geng-gengan. Sejak itu kita meng-Indonesiakan Tuban," tutur Mendra.
Cerita bentrok antarwarga itu sudah menjadi catatan hitam warga Tuban di masa lalu. Kini mereka sudah hidup saling menghormati, misalnya saja saat warga Kampung Bugis yang beragama Islam, tetap menjalankan salat lima waktu di hari raya Nyepi meski tanpa kumandang azan.
Mereka tetap khusyuk beribadah meski penerangan minim, pecalang juga siap mengantar warga tersebut pulang ke rumah masing-masing. Cerita menarik lainnya, saat pecalang yang non-Hindu bertugas hingga malam hari. Pecalang yang beragama Hindu menjemput pecalang tersebut untuk kembali ke posko. (dtc)