Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Menristekdikti membuat peraturan Perguruan Tinggi bisa membuka program pendidikan advokat setara S2. Padahal, UU Advokat menyatakan sebaliknya yaitu pendidikan advokat dilakukan oleh organisasi advokat sendiri.
Persoalan pendidikan advokat pernah digugat Pimpinan Pusat Perguruan Tinggi Hukum Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat Pasal 2 ayat 1 UU Advokat, yang berbunyi:
Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
Juga Pasal 3 ayat 1 huruf f yang berbunyi:
Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat.
"Penyelenggaraan pendidikan advokat sebagai bagian dari kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan Strata Satu (S1) ilmu hukum tidak bisa berdiri sendiri, tetapi proses pendidikan tersebut harus merupakan bagian dari proses pendidikan Strata Satu (S1) ilmu hukum, sehingga penyelenggaraannya tidak terlepas dari organ program studi ilmu hukum yang telah terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT)," ujar pemohon sebaimana dikutip dari website MK, Senin (25/3/2019).
Menurut pemohon, pilihan yang tepat adalah kompetensi sebagai advokat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan program Strata Satu (S1) ilmu hukum. Atau lebih khusus dimasukkan dalam program Strata Satu (S1) ilmu hukum konsentrasi praktisi hukum.
"Namun demikian, agar seluruh mahasiswa program studi Strata Satu (S1) ilmu hukum memiliki kompetensi sama, maka sebaiknya penerapan proses pembelajaran berbasis KKNI tetap dilaksanakan oleh lembaga perguruan tinggi, namun pada pembelajaran yang sifatnya praktisi, lembaga perguruan tinggi tersebut bekerja sama dengan organisasi profesi advokat," ujar pemohon.
Pendidikan khusus advokat adalah pendidikan hukum untuk memenuhi bekal calon advokat dalam berpraktik menegakkan hukum di masyarakat. Pendidikan khusus advokat adalah pendidikan profesi sebagai advokat guna menjadikan calon advokat memiliki mutu, kualitas, dan kompetensi yang mumpuni ketika telah menjadi advokat.
"Oleh karena itu, perlu adanya institusi pendidikan yang memiliki dasar hukum penyelenggaraan yang jelas serta memiliki materi muatan dengan standar kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa 'Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi'," paparnya.
Namun, permohonan itu ditolak MK. Menurut MK, advokat memiliki kekhususan sendiri sehingga berbeda dengan profesi lainnya. Oleh sebab itu, pendidikannya tidak dilakukan di bawah Kemenristekdikti, tetapi dilakukan mandiri oleh organisasi advokat sendiri.
"Bahwa hak organisasi advokat menyelenggarakan PKPA didasarkan pada Pasal 28 ayat (1) UU Advokat yang pada intinya menegaskan bahwa Organisasi Advokat dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat. Penegasan maksud dan tujuan tersebut telah pula ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004. Hal tersebut menjadi pembeda antara profesi Advokat dengan profesi lainnya sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon," ujar MK.
Baca juga: Menristekdikti 'Caplok' Pendidikan Advokat
Keterlibatan perguruan tinggi, adalah mitra. Sehingga penyelenggara tetap menjadi otoritas Organisasi Advokat.
"Oleh karena itu, menurut Mahkamah untuk menjaga peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan UU Advokat, maka penyelenggaraan PKPA memang seharusnya diselenggarakan oleh organisasi atau wadah profesi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi hukum sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan di atas," kata MK dalam Putuan Nomor 95/PUU-XIV/2016.(dtc)