Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Jeremia S Tobing, warga Jalan Sei Kuala Medan, keberatan dengan pengenaan minimum billing (tagihan minimum) atas tagihan penggunaan listrik sebesar 0 kwh. Menurutnya, pengenaan minimum billing tersebut merugikan konsumen dan tidak sesuai dengan kenyataan.
Kepada wartawan di Medan, Minggu (24/3/2019), Jeremia menjelaskan, persoalan ini muncul saat dia mendapat tagihan listrik sebesar Rp 330.000 pada Oktober 2018 dan sebesar Rp 280.000 pada Februari 2019.
"Saya terkejut juga mendapat tagihan sebesar Rp 330.000 pada Oktober 2018. Karena biasanya saya membayar tagihan listrik lebih dari itu," jelasnya.
Jeremia kemudian mendatangi kantor PLN terdekat dengan rumahnya, yakni PLN Jalan Sei Batu Gingging, Medan. Petugas yang ditemui mengatakan bahwa tagihan sebesar Rp 330.000 yang terdiri dari Rp 280.000 berupa minimum billing dan sisanya merupakan denda keterlambatan pembayaran, disebabkan karena tidak adanya penggunaan daya listrik.
Petugas PLN Batu Gingging juga mengatakan bahwa saat petugas pencatat meteran listrik datang, rumah dalam kondisi kosong. Jeremia kemudian menjelaskan bahwa sepanjang hari rumahnya yang memiliki daya listrik 4.400 VA selalu ada orang sehingga mustahil jika tidak ada pemakaian listrik. Di samping itu, tidak ada petugas pencatat listrik yang datang ke rumahnya.
"Rumah memang memiliki pagar dan lonceng kami tempatkan pada dinding pagar. Sehingga jika ada tamu, tinggal membunyikan lonceng saja. Jadi tidak mungkin kami tidak tahu ada petugas pencatat meteran listrik jika membunyikan lonceng yang ada," jelasnya.
Petugas PLN Jalan Sei Batu Gingging lalu menyarakan agar Jeremia memasang papan pencatat meteran listrik di tempat yang mudah terlihat petugas. Setiap tanggal 26, papan tersebut diisi dengan angka penggunaan daya listrik. Langkah ini kemudian diikuti oleh Jeremia.
Namun selang beberapa bulan kemudian, peristiwa yang sama terulang. Jeremia kembali mendapat tagihan minimum billing pada Februari 2019 sebesar Rp 280.000.
Jeremia mengatakan, akibat pengenaan minimum billing tersebut, maka dia harus membayar listrik dengan harga minimum Rp 280.000. "Ini merugikan saya karena saya sudah membayar minimum billing Rp 280.000, padahal pemakaian listrik 0 daya listrik. Dan bagi konsumen, ini tentu merugikan. Bayangkan jika ada ribuan pelanggan yang mendapat masalah ini, berapa banyak yang diterima PLN. Dan dalam waktu kurun waktu 6 bulan (Oktober 2018- Maret 2019) saya dirugikan Rp 560.000," jelasnya.
Jeremia menilai, persoalan ini terjadi karena petugas pencatat meteran listrik tidak menjalankan fungsinya dengan benar. "Dalam kejadian itu, tidak ada petugas yang datang, meskipun saran dari PLN untuk memasang papan pencatat meteran listrik sudah kami lakukan," ujar pemilik ID pelanggan 120020049199 ini.
Wakil Ketua Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Sumut ini meminta manager PLN Kota Medan atau GM PLN Wilayah Sumut memverifikasi kebenaran dari laporan para petugas pencatat meteran listrik, apakah rumah memang benar dalam kondisi kosong sehingga PLN mengenakan tarif minimum.
"Dilakukan cek ke lapangan kembali di hari berikut, kecuali rumah itu nampak terkunci semua, garasi, dan lainnya. Kalau garasi rumah terbuka, berarti ada orang di dalam rumah Petugas harus memanggil pemilik rumah atau membunyikan lonceng untuk memastikan ada orang di rumah itu," jelasnya.
Jeremia mengatakan, petugas pencatat meter itu membawa nama besar PLN, sehingga harus menjaga nama baik institusi PLN.
Sementara itu, Manager PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Medan, Lelan Hasibuan yang dikonfirmasi, Senin (25/3/2019) siang mengatakan akan mengecek terlebih dahulu. "Terima kasih infonya Pak, kami cek dulu ya," ujar Lelan singkat.