Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Pengamat media, J Anto ikut bersuara menanggapi kebijakan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Runtung Sitepu memecat 18 pengelola Pers Mahasiswa (Persma) "Suara USU". Pemecatan terkait pemuatan cerpen berjudul "Ketika Semua Menolak Kehadirannya Diriku Didekatnya". Ditulis Yael Stefany Sinaga yang tak lain Pemimpin Umum Suara USU.
Dengan dalih menyebarkan paham LGBT (lesbian, gay, bisexual dan transgender) dan mengandung unsur pornografi, tim redaksi Suara USU digusur dari posisinya.
Menurut J Anto yang merupakan mantan pimpinan lembaga kajian media, KIPPAS, kontroversi yang mencuat terkait cerpen Stefany menggambarkan adanya pertarungan sebuah nilai.
Terangnya, bagaimanapun di Indonesia perbedaan orientasi seksual belum bisa diterima sebagai sebuah konvensi. Karena ada nilai-nilai agama, ada norma-norma yang masih hidup. Maka, ketika masuk ke sebuah ruang publik, seperti media sosial atau media cetak, pasti menimbulkan kontroversi. Ada yang bisa menerima dan juga tidak.
"Ketika kekuasaan yang punya power tidak bisa menerima, pasti kekuatan yang powerless kalah," ujar Anto kepada medanbisnisdaily.com seusai menjadi pembicara di acara dialog bersama Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI, Darmayanti Lubis, di Medan, Rabu (27/3/2019).
Dengan demikian, terangnya, pemecatan 18 pengelola Suara USU yang berbicara adalah aspek kekuasaan.
Ungkapnya, sesungguhnya sebagai pimpinan sebuah lembaga demokrasi mini, Runtung harus mengizinkan nilai-nilai yang berbeda bersemi. Dalam hal ini, dialog lebih tepat dikedepankan daripada menunjukkan power. Apalagi nilai-nilai yang ditampilkan hadir dalam sebuah cerita fiksi. Bukan data empirik.
"Yang namanya fiksi berbeda dengan dunia realitas, multi tafsir, jadi lebih baik didialogkan," tuturnya.
Cerpen yang dituding Runtung mempromosikan LGBT, menurut Anto, tidak benar. Tetapi menceritakan orang-orang yang punya orientasi seksual berbeda yang tidak mempunyai ruang atau kesempatan menyuarakan kegelisahannya. Berbagai referensi menjelaskan LGBT bukan gaya hidup, melainkan ada sesuatu yang berbeda di dalam tubuh mereka.
"Sebaiknya rektor tidak sok kuasa terkait cerpen tersebut. Kampus itu tempat eksperimen bagi demokrasi, pemikiran dan sikap berbeda tidak harus dibunuh. Menurut saya begitu," tegasnya.
Kendati demikian, dia mengingatkan agar mahasiswa menyadari posisinya sebagai pers kampus. Yang mendapat sumber pembiayaan dari kampus. Konsekwensinya, ketika kampus tidak setuju dengan contennya, ada kemungkinan akan dibredel.
"Hal itu penting disadari mahasiswa, dari segi pendanaan mereka tidak mandiri. Maka wajar kalau dari segi birokrasi mereka dihabisi. Walaupun tindakan rektor tidak bisa dibenarkan," jelas alumni Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini.