Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Persaingan sengit. Contohnya, seribu tigaratusan calon anggota legislatif (Caleg) DPRD Sumatera Utara memperebutkan 100 kursi. Dus, 1.200-an caleg akan gagal. Sudahlah bersaing dengan caleg partai politik lain, juga berkompetisi dengan caleg separtai.
Jangan-jangan, itulah sebabnya “serangan fajar” masih populer. Mungkin, karena caleg tidak percaya diri akan menang. Daripada putar otak menawarkan visi misi, program dan gagasan yang cemerlang, ambil saja jalan pintas. Ya, membagi-bagi duit kepada para pemilih sebelum mencoblos di TPS.
Kita dikagetkan ketika KPK menangkap politikus Partai Golkar, Bowo Sidik Pangarso, Rabu (27/3) dinihari di Jakarta. Anggota DPR RI ini telah menerima suap terkait dengan kerja sama bidang pelayaran antara PT Pupuk Indonesia Logistik (PILOG) dengan PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK).
"Bahkan diduga .....dipersiapkan untuk serangan fajar pada Pemilu 2019," kata Wakil Ketua KPK, Basaria Pandjaitan, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/3).
Uang tersebut telah diubah menjadi pecahan Rp 50.000 dan Rp 20.000. KPK menemukannya di sebuah kantor di Jakarta dengan jumlah total Rp 8 miliar. Terhimpun dalam 84 kardus dan terdiri dari 480.000 amplop yang konon akan disitribusikan saat “serangan fajar.”
Apalagi masyarakat pun masih cenderung permisif dengan praktik politik uang. Tak mustahil ada yang berharap datangnya “serangan fajar.” “Nomor piro, wani piro,” begitu istilah berbahasa Jawa yang hidup di masyarakat. Maksudnya, memilih nomor berapa, dan dapat uang berapa?
Bayangkan, jika ada sedikitnya 10 caleg dari 16 parpol yang memberi uang, dan masing-masing Rp 50.000 atau Rp 100.000, eh, sudah ada sekitar Rp 500.000 hingga Rp 1 juta.
Timbul masalah. Siapa dong yang dipilih dari 10 orang itu? He-he, biasanya yang memberikan paling dekat waktunya dengan waktu pencoblosan, itulah yang paling diingat. Situasi psikologis inilah yang dimanfaatkan para caleg.
Memang tidak ada jaminan praktik politik uang sudah pasti dipilih. Maklum, tak mungkin ada surat perjanjian, dan apalagi para pemilih sendirian saja di bilik suara.
Syahdan, untuk menyikapi hal itu ada para caleg yang bisa saja menerapkan pasca bayar. Uang diberikan setelah hasil pemilihan diumumkan di TPS. Para caleg rupanya melakukan komitmen dengan koordinator lapangan. Jika terbukti banyak suara yang memilih, barulah amplop dibagi-bagikan.
Fenomena yang merusak demokrasi ini hanya akan bisa dihilangkan jika pendidikan politik masyarakat berjalan dengan baik. Masyarakat harus paham apa itu manfaat politik, apa peranan anggota DPR-DPRD bagi kehidupan rakyat.
Masyarakat harus dicerdaskan dengan memahami masalah-masalah di daerahnya. Dari situ, mereka akan tahu visi misi dan program caleg macam apa yang cocok untuk mengatasi masalah di daerah tersebut. Jadi, transaksi caleg dengan pemilih adalah transaksi visi misi. Bukan duit.
Sayang sekali, inilah yang selama ini rada diabaikan oleh partai politik. Masyarakat pun, walau bukan generalisasi, lalu berpikir gampang saja. “Kalau mereka jadi wakil rakyat, pasti enak. Ada gaji ada tunjangan. Lalu, kita dapat apa.”
Karena itu, patroli yang akan dilakukan Bawaslu untuk memata-matai kemungkinan “serangan fajar” patut disambut. Masyarakat pun diharapkan berani menolak politik uang. Tolak duitnya dan laporkan ke Bawaslu. Bukan ambil uangnya, lalu pilih yang lain.