Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Golput ramai jadi cerita. Ada yang bilang Golput bukan WNI yang baik. Karena itu keluar saja dari Indonesia. Tapi ada yang bilang Golput itu hak. Bukan kewajiban.
Saya tak hendak terlibat ke prokontra itu. Saya hanya ingin bercerita tentang sebuah film berjudul “Swing Vote” yang dibintangi Kevin Costner pada 2008 silam.
Dikisahkan, Bud Johnson (Kevin Costner) seorang duda yang hobi mabuk-mabukan hidup dengan putrinya, Molly (Madeline Carroll). Tapi Bud tetap berhak ikut memilih dalam Pilpres, dengan dua kandidat bersaing, yakni, Andrew Boone dari Partai Republik dan Donald Greenleaf deari partai Demokrat.
Sayang, Bud yang terkapar mabuk di tengah jalan gagal mencoblos di TPS di Texico, kota kecil di New Mexico. Eh, Molly, putrinya, seorang murid SD yang belum berhak memilih, menyelinap ke bilik suara ketika petugas TPS lengah. Dia mencoblos atas nama ayahnya, Bud.
Tiba-tiba jaringan komputer pemilihan mati seketika. Sistem error sehingga Bud dianggap belum memilih.
Akibatnya luar biasa. Pemenang di negara bagian New Mexico tidak bisa diputuskan, dan membuat hasil akhir secara nasional pun tertunda. Padahal, perolehan suara kandidat secara nasional, he-he, kebetulan sama pula. Maklum, itulah bisa-bisanya sebuah film.
Tak, ayal, suara Bud menjadi penentu. Panitia pemilihan memutuskan Bud melakukan pemilihan ulang, 10 hari ke depan.
Penulis skenario pun mendramatisir, betapa kedua kandidat “mati-matian” merebut simpati Bud. Mengajaknya naik ke Air Force One, bertemu dengan pembalap terkenal, disuplai makanan yang mewah, dan sebagainya. He-he, itu sudah money politics, bukan?
Namun, aduh, semakin menggemaskan karena hingga ending film, penonton tak diberitahu siapa kandidat yang unggul. Bud masih terjepit di antara memilih Andrew atau Donald. Film pun the end.
Tapi saya kira, kita diberitahu betapa berharganya sebuah suara. Apalagi kaum swing voters di negeri ini, menurut sebuah survei diperkirakan mencapai 30% dari 191 juta orang total jumlah pemilih pada Pemilu 2019. Wah,suatu jumlah yang besar, dan signifikan.
Kaum Golput selalu ada saban Pemilu. Dimulai dari 7,3% pada Pemilu 1999, 15,9% pada Pemilu 2004, 21,8% pada Pilpres putaran I 2005, dan 23,4% pada Pilpres putaran II 2005. Pada Pileg 2009 terdapat 29,3% golput, dan 28,3% pada Pilpres 2009. Lalu, 24,8% pada Pileg 2014, dan 29,1% pada Pilpres 2014.
Wah, jika kaum Golput atau swing voters akhirnya ikut memilih, suaranya sangat signifikan. Jika memilih salah satu Capres, dipastikan kandidat itu akan menang. Jika suaranya berbagi, kita pun berdebar-debar menunggu siapa pemenangnya.
Saya hanya berharap “Swing Vote” itu hanya impian eksentrik seorang penulis skenario film. Tidak sampai terjadi dalam Pilpres 2019