Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sejumlah warga Desa Sigapiton, Ajibata, Tobasa, Sumatra Utara, diusir oleh pihak Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) saat hendak menghadiri peresmian The Caldera-Toba Nomadic Escape di desa mereka, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Sumatra Utara,.Kamis (4/4/2019).
Dalam keterangan tertulisnya yang diterima medanbisnisdaily.com, Jumat (5/4/2019), Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) menjelaskan, sempat terjadi adu pendapat di antara kedua belah pihak. KSPPM sendiri adalah lembaga yang aktif mendampingi komunitas masyarakat adat, khususnya di Tanah Batak.
Berikut kronologis dan perdebatan yang terjadi antara warga dan BPODT sebagaimana yang diceritakan Direktur KSPPM Delima Silalahi
Kamis, 4 April 2019, keturunan marga Sirait dari Bius Raja Paropat Sigapiton, diusir dari perhelatan peresmian The Caldera-Toba Nomadic Escape karena mereka bukan undangan.
“Ini wilayah adat kami, mengapa kami tidak bisa masuk?" kata Ompu Melita bertanya pada petugas keamanan yang menghalaunya bersama sekelompok masyarakat adat Bius Paropat Sigapiton agar tidak masuk ke area peresmian The Caldera-Toba Nomadic Escape di Desa Sigapiton, Ajibata, Tobasa.
“Jangan buat keributan di sini, kalian jangan mengacaukan acara ini," hardik Direktur Pemasaran BPODT, Basar Simanjuntak.
“Kami tidak akan buat keributan, Pak, kami mau mendengar apa kata Bapak Menteri Pariwisata, mengapa kami tidak bisa masuk”, pinta yang lainnya.
“Ini khusus untuk undangan, kalian tidak punya undangan, di dalam banyak investor, kalian jangan bikin ribut”, kata seorang petugas lainnya.
Adu mulut pun sempat terjadi di pintu masuk. Masyarakat adat Bius Paropat Sigapiton khususnya marga Sirait, menuntut agar hak mereka atas tanah adat mereka diakui. Sudah lebih dua tahun mereka meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), agar tanah adat mereka dikembalikan. Namun, jangankan mengembalikan, wilayah adat mereka saat ini sebagian besar malah dikuasai oleh BPODT untuk dijadikan destinasi wisata bertaraf internasional.
“Kalau tanah yang kalian tuntut, bawa aja ke pengadilan”, kata Basar.
“Pak ini tanah kami, kami hanya mau sampaikan kepada pak Menteri agar hak kami dihargai, izinkan kami masuk”, kata Ompu Rindu. “Tidak bisa, Pak, ini khusus untuk undangan, bukan untuk orang Bapak”, tegas Basar.
Setelah berdebat panjang lebar, panitia pun berkeras tidak mengizinkan masyarakat masuk ke area peresmian. Atas desakan masyarakat, Basar berjanji akan memberikan waktu kepada masyarakat bicara dengan Menteri Pariwisata, Arief Yahya, saat kunjungan ke kampung.
Masyarakat bersedia menunggu di kampung. Namun sayangnya, ternyata Pak Menteri yang ditunggu urung ke kampung. Tidak jelas apakah Basar Simanjuntak yang berjanji palsu, ataukah Pak Menteri yang terhormat yang tidak memandang penting suara rakyat. Yang pasti, keinginan masyarakat Bius Paropat Marga Sirait untuk menyampaikan langsung permasalahan mereka tidak terpenuhi. Hal ini menambah kekecewaan masyarakat terhadap penyelenggara kegiatan, yakni Badan Otorita Pariwisata Danau Toba.
Keturunan Raja Bius Sirait yang ada di Desa Sigapiton mengatakan tidak menolak pembangunan pariwisata tersebut, bahkan mereka senang jika Desa mereka maju. Namun yang mereka sesalkan adalah ketiadaan respon pemerintah atas tuntutan mereka terhadap wilayah adatnya. Bahkan BPODT dan pemerintah daerah selama ini tidak pernah mengajak semua pihak untuk duduk bersama menyelesaikan persoalan ini.
Pemerintah dan BPODT hanya datang menyampaikan program-programnya seakan-akan hanya itulah target mereka. Seperti dikatakan Op. Hotler boru Sidabutar, mereka sangat mendukung program tersebut, namun tanah adatnya di Silali, merupakan satu-satunya peninggalan mertuanya. Di tanah tersebutlah dia menanam padi darat sejak menikah dengan suaminya yang bermarga Sirait. Ibu 10 anak tersebut sangat menyesalkan sikap pemerintah yang tidak menghargai sedikit pun keberadaan mereka.
“Hami do nampunasa tano di son, alai mandege tano nami pe hami dang dipaloas, ingkon adong ninna undangan (kami adalah pemilik tanah di sini, tapi menginjakkan kaki pun di tanah kami, kami tak diizinkan, harus ada katanya undangan)”, tutur nenek yang sudah berumur lebih 80 tahun itu.
Naek Sirait, keturunan raja bius yang tinggal di Sigapiton juga mengecam keras tindakan para petugas keamanan yang mencabuti pisang mereka di Silali dekat lokasi acara.
”Mereka menyuruh kami mencabuti pisang tersebut sehari sebelum peresmian ini dengan alasan kalau investor melihat pisang-pisang tersebut, para investor tersebut akan mengurungkan niatnya membangun di tanah tersebut”, cerita ama Naek.
“Sedihnya lagi, tadi pagi saat kami ke Silali, pisang-pisang kami sudah dicabuti oleh mereka”, tambah Op. Melita.
Miris memang, saat para undangan menikmati keindahan Danau Toba dari Lokasi The Caldera- Toba Nomadic Escape, menikmati musik gondang Batak sembari menyeruput hangatnya kopi Danau Toba, saat itulah para pemilik tanah adat diabaikan bahkan tidak diizinkan ikut dalam peresmian tersebut.
Basar Simanjuntak yang dikonfirmasi dalam jawabannya yang singkat, ia mengatakan, pihaknya sedang membuat pers relis tentang itu. "Sedang dibuat press release-nya. Acaranya sebenarnya by invitation," katanya.