Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya dan istri saya beda pilihan soal Capres-Cawapres. Saya mengidolakan pasangan calon (paslon) Anu, sementara istri saya memilih paslon Polan. Kami berdua tentu punya alasan yang berbeda.
Kami sering berdebat dengan seluruh argumentasi masing-masing. Kadang-kadang seru juga, namun tidak sampai ke ubun ubun hingga tidak mengusik hubungan kami sebagai suami istri.
Toh, jika saya minta dibuatkan kopi untuk memperlancar saya menulis kolom, dia tetap melayaninya dengan tersenyum.
Saya katakan kepada istri saya, bahwa setiap orang itu diberi telinga dua dan satu mulut. Secara filsafati, artinya, seseorang itu harus lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Demikiankah, kami bergantian mendengar argumentasi masing-masing. Bahkan sampai ada ronde kedua dan ketiga sehingga argumentasi menjadi tuntas...tas tas tas.
“Ma, jangan seperti politikus yang berdebat di televisi, malah saling berbicara serempak. Entah siapa yang mau didengar,” kata saya. “He-he, sampai moderator kewalahan ya,” balasnya pula.
“Wah, itu namanya masing-masing ingin menang sendiri,” kata saya. “Karena ego saling merajai,” balas istri saya.
“Padahal berbeda itu indah,” kata saya. “Maksudnya,” tanya istri saya. “Coba lihat kita. Saya lelaki, mama perempuan. Coba kalau satu jenis kelamin, he-he, gawatlah,” kata saya.
“Oh, bukan cuma itu. Papa juga suka nonton film televisi barat. Sedang saya gemar memirsa acara lagu-lagu para penyanyi,” katanya. “Kita kan selalu berbagi channel saat nonton televisi?” tambah istri saya.
“Bahkan selera makan kita juga berbeda. Saya suka ikan, mama suka ayam,” kata saya. “Uangnya dari saya tapi yang memasak kan mama?” tambah saya.
“Tapi kalau tak ada uang, apa pula yang dimasak,” seru istri saya. “Persis. Kalaupun ada uang tapi tak ada yang masak, kan repot,”sahut saya.
Demikianlah, sudah kodrat manusia berbeda. Justru tidak berbeda itu menjadi monolitik, serba tunggal, monoton dan tanpa pilihan lain. “Ingat enggak Soeharto saat Pemilu di era orde baru selalu menjadi calon tunggal, dan he-he, selalu menang,” kata saya.
Bagus-bagus saja tidak saling menerima pilihan Capres yang berbeda. Tetapi yang penting bisa saling mengerti. Cerdas, ceria dan demokratis.