Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya terharu menyaksikan tayangan televisi pada saat penutupan debat kelima Capres-Cawapres, Sabtu, 13 April lalu. Bukan hanya karena penyanyi Afgan Syahreza dan Putri Ayu melantunkan lagu “Indonesia Pusaka” karya Ismail Marzuki, di Golden Ballroom, Hotel Sultan, Jakarta Pusat. Tetapi juga karena melihat kedua pasangan calon (paslon) saling bersalaman dan “cipika-cipiki".
Padahal sebelumnya kedua paslon baru saja berdebat tajam, bahkan saling menyindir. Berbeda pendapat dalam membahas masalah bangsa dan negara, rupanya tak membuat persaudaraan sesama sebangsa dan setanah air menjadi retak.
Semakin mengharukan karena Timses Paslon nomor urut 1 dan 2 juga ramai-ramai beriringan tampil ke depan. Bahkan juga saling bersalaman dan berpelukan. Malah ada yang berswafoto penuh persahabatan, meskipun selama ini kerap saling mengkritik.
Sepatutnya memang demikian. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah ritus demokrasi. Bukan bagai sebuah pertarungan tinju di atas ring. TIdak harus ada yang knock out. Tidak harus zero sumgame.
Bahwa kelak akan ada yang menang dan kalah haruslah dilihat sebagai solusi demokrasi. Bahwa, demikianlah rakyat telah menentukan pilihannya. Rakyatlah yang menang. Para pemilih yang berseberangan dalam memilih calon pun demokratis adanya. Bukan sesuatu yang tercela, apalagi ternoda. Bahkan dilegitimasi oleh undang-undang..
Nah, jika Jokowi-Ma’ruf Amin dan Parabowo Subianto-Sandiaga Uno pun saling berpelukan, saya berharap pendukung kedua paslon pun seyogianya harus tulus saling bersalaman dan berpelukan. Yakni setelah KPU mengumumkan hasil Pilpres.
Pilpres dan juga Pileg hanyalah jembatan penyeberagan. Tujuannya tiada lain sebuah proses suksesi secara damai bagi terciptanya pemerintahan berikut, sebagai kesinambungan dari pemerintahan sebelumnya.
Sebuah negara haruslah mempunyai pemerintahan. Sebab jika tidak akan terjadi anarki. Alangkah mengerikan jika negara ini dipimpin oleh lebih dari satu pemerintahan bagaikan kapal dengan banyak nakhoda. Apalagi jika tanpa nakhoda, betapa kacau. .
Adapun pemerintahan dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan umum. Demi kepentingan rakyat. Demi Indonesia tercinta.
Ah, bulu kuduk saya merinding, ketika lagu “Indonesia Pusaka” tersebut kembali terngiang-ngiang di gendang telinga.
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Selalu dipuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata.