Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya bangga melihat antusiasme pemilih pada Pemilu 2019 di luar negeri. Antrean panjang dan WNI berduyun-duyun menuju TPS. Suasana itu tercermin dalam tayangan televisi di Frankfurt, Jerman, London, Hong Kong, Singapura, Sydney, Osaka hingga Kualalumpur.
Memang ada sedikit kericuhan karena para pemilih terkendala menggunakan hak suara karena keterbatasan waktu, Tapi itu menunjukkan animo yang tinggi, apalagi KPU pun akan melakukan pemilihan susulan.
Saya berharap kegairahan serupa juga akan terjadi dalam Pilpres dan Pileg 2019 di dalam negeri. Syahdan, Ketua KPU Arief Budiman pernah mengungkapkan, ditargetkan tingkat partisipasi pemilih mencapai 77,5%. Naik dibandingkan dengan Pipres 2014 yang hanya 69,54% dari target 75% dan Pilpres 2009 sebesar 71,17%. Namun Pemilu legislatif 2014 mencapai 75,11% dan Pilpres 2009 sebesar 71,17%.
Sudah umum diketahui partisipasi pemilih dikurangi oleh angka golongan putih (golput) yang memadai. Pada Pilpres 2014 misalnya mencapai 30,42%, meningkat dari Pilpres 2009 dan Pileg 2014.
Padahal jika melihat sejarah, ternyata partisipasi pemilih pada Pemilu 1955 mencapai 90 %. Luar biasa, walau kala itu, 70% penduduk masih buta huruf.
Bandingkanlah, dengan Pemilu Legislatif 2004 hanya 84%. Lalu, pada Pemilu 2009 menurun menjadi 71%. Lalu, menaik menjadi 75,2% pada Pemilu Legislatif 2014.
He-he, namun yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 24,8%. Angka ini jauh lebih tinggi dari partai yang bertengger di urutan pertama, yakni PDIP yang hanya di kisaran 18-20 persen.
Apakah karena banyak para politikus dan anggota DPR dan DPRD yang terlibat skandal korupsi sehingga rakyat tidak bergairah menggunakan hak suara? Entahlah.
Memang, di era orde baru, sejak Pemilu 1971 hingga 1997, partisipasi pemilih berada di kisaran 93% hingga 96%. Angka Golput malah rendah, hanya 3,4% hingga 6,4%.
Maklum, kala itu, peta politik nyaris 100% dikuasai oleh Golkar, partai resmi rezim pemerintah yang dibeking oleh birokrasi dan ABRI.
Namun kegairahan ikut Pemilu mencuat pada Pemilu 1999 dengan tingkat partisipasi 92,6%. Jumlah Golput hanya 7,3%. Mungkin, karena masyarakat lagi euforia merayakan tumbangnya Orde Baru dengan kebangkitan era reformasi.
Nah, bagaimana setelah 20 tahun era reformasi? Saya kira gendangnya dua. Pertama, karena masyarakat merasakan berbagai perubahan dibanding Orde Baru sehingga bergairah ikut Pemilu. Tapi kedua – semoga tidak terjadi -- juga kian kritis dan skeptis, yang memberi ruang benih-benih Golput. Tabik!