Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Dalam Islam, terutama jika kita menggunakan mata uang emas maupun perak, maka inflasi tidak akan ada. Itulah sepenggal pendapat sebagian orang jika kita mau menggunakan uang emas (dinar) ataupun perak (dirham). Menarik buat penulis untuk membedah kebenaran dari argumen tersebut. Karena memang argumen tersebut mudah untuk dipatahkan.
Yang paling mudah adalah merujuk kepada fakta di mana saat zaman Rasulullah SAW juga pernah terjadi kenaikan harga barang. Di mana saat itu para sahabat mempertanyakan masalah kenaikan harga barang,"Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang”.
Saat itu, Rasulullah menjawab,“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta”. (HR. Ahmad 12591, Abu Daud 3451, Turmudzi 1314, Ibnu Majah 2200, dan dishahihkan Al-Albani).
Artinya apa? Di saat itu di mana manusianya menggunakan uang emas dan perak. Tetap terjadi kenaikan harga atau dikenal dengan istilah inflasi. Namun dalam tulisan ini penulis mencoba untuk melakukan pendekatan logika, karena memang yang namanya kenaikan harga barang di tengah masyarakat itu sulit untuk dihindari.
Jika mengacu kepada uang yang berlaku saat ini, di mana mata uang yang kita gunakan adalah rupiah. Tidak seperti halnya dinar atau dirham. Laju tekanan inflasi membuat jumlah angka nolnya kerap bertambah dalam suatu periode tertentu. Sebagai contoh, penulis pernah membelanjakan uang sebesar 200 rupiah waktu usia sekitar 7 sampai 9 tahun yang bisa dibelikan 4 buah gorengan.
Namun saat ini, untuk membeli 4 buah gorengan dibutuhkan uang sekitar Rp 2.000. Artinya memang angka 0 (nol) bertambah namun daya belinya tetap sama. Daya beli uang Rp 200 kala itu sama dengan uang 2.000 saat ini. Inflasi yang menyebabkan terjadinya penambahan angka nol tersebut, membentuk opini bahwa harga yang berlaku di masyarakat terus mengalami kenaikan.
Masyarakat pada umumnya kerap melupakan satu hal. Di mana kenaikan harga barang dianggap sebagai sesuatu yang merugikan finansialnya secara terus menerus. Tanpa mengetahui bahwa pendapatannya juga pada dasarnya mengalami kenaikan.
Sebagai contoh pada saat usia penulis 7-9 tahun, seorang guru baru penulis kala itu menceritakan bahwa gaji seorang guru baru sekitar Rp 200.000 per bulan. Cukup untuk membiayai hidupnya. Nah saat ini seorang guru baru digaji sekitar Rp 2 jutaan per bulan. Nah terus apa bedanya? Bedanya nol bertambah, tapi tetap daya belinya sama.
Penulis dalam konteks ini tidak membandingkan gaji guru baru saat penulis masih kecil dengan gaji beliau pada saat ini. Karena dulu beliau yang statusnya guru baru telah menjadi kepala sekolah. Jelas dong pendapatannya berbeda. Pangkatnya naik, gajinya sudah besar plus sertifikasi. Jadi tidak sepadan jika dibandingkan. Yang sepadan itu gaji guru baru kala itu dibandingkan dengan gaji guru baru saat ini atau dikenal dengan istilah apple to apple.
Jadi sebaiknya masyarakat tidak melulu mengeluhkan kenaikan harga barang. Karena toh pada dasarnya pendapatan akan menyesuaikan nantinya. Kecuali bila kita sendiri yang tidak produktif lagi, tidak punya pekerjaan, tidak ada yang bisa dijadikan penghasilan. Nah kalau sudah seperti itu, maka konteksnya sudah lain.
Walaupun pada dasarnya dalam alqur’an bahwa sikap manusia ini sudah jelas. Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan memiliki sifat halu’, apabila dia sedang mengalami kesulitan, dia mudah berkeluh kesah, dan jika sedang mendapatkan kenikmatan, dia bersikap pelit. (QS. Al-Ma’arij: 19 – 21).
Nah, krisis ekonomi juga pada dasarnya merupakan sebuah siklus yang nantinya akan mampu pulih dengan sendirinya. Dengan catatan diikuti serangkaian kebijakan untuk menstabilkannya. Sebagai contoh, saat harga barang mengalami kenaikan. Katakanlah seperti krisis 97/98 silam, dimana terjadi kenaikan harga barang sekitar 60% (inflasi 60%).
Masyarakat mengalami kejutan atau shock karena penghasilannya tidak mampu memenuhi kebutuhannya sehari hari. Terjadilah gejolak sosial di masyarakat yang memaksa terjadinya perubahan kepemimpinan di tanah air. Gejolak ekonomi memicu terjadinya gejolak sosial dan politik. Padahal setelah itu semuanya kembali ke sedia kala.
Muncul pecahan uang dengan nominal besar, harga barang disesuaikan dengan kenaikannya, pendapatan disesuaikan dengan aturan baru yang mengakomodir kebutuhan hidup layak pasca krisis. Jadi salah satu penyebab krisis itu terjadi dikarenakan oleh kenaikan harga barang yang secara signifikan dan tiba-tiba, namun tidak sepenuhnya diikuti secara beriringan (menyusul) dengan kenaikan pendapatan atau penghasilan.
Nah disaat terjadi inflasi apakah itu akan menjadi masalah?. Selama pendapatan kita juga naik sebesar inflasi tersebut maka tidak akan terjadi masalah. Sebagai contoh, jika dalam setahun terjadi inflasi sebesar 6%. Maka jika saya adalah seorang karyawan dengan gaji 1 juta per bulan. Agar saya tetap mampu memenuhi kebutuhan hidup saya.
Maka saya akan mengharapkan kenaikan gaji sebesar 6% pula. Artinya saya berharap gaji naik menjadi Rp 1.060.000. Artinya, kenaikan gaji tersebut tidak membuat saya bertambah kaya, namun dengan kenaikan gaji yang sama besarnya dengan kenaikan inflasi, saya bisa mempertahankan daya beli saya setiap bulannya. Dan mekanisme kenaikan gaji setiap tahun selalu ditetapkan baik pemerintah pusat dan daerah.
Jadi kenaikan harga barang di sini tidak mempengaruhi rezeki seseorang, karena pada dasarnya sudah diatur jalannnya oleh Allah SWT.
“Andaikan Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 27)
Nah bagaimana misalkan dengan menggunakan uang emas atau perak. Misalkan saja emas dan perak yang dijadikan uang. Terlepas dari kesulitan kita dalam membawanya karena bentuknya logam dan memakan tempat, tetap saja berpeluang terjadi inflasi.
Sebagai contoh, inflasi yang kerap terjadi saat ini dipicu oleh masalah persediaan. Katakanlah untuk membeli 1 karung beras ukuran 30 kg per karung. Dibutuhkan emas katakanlah 1 gram. Seiring dengan musim paceklik petani, ketersediaan beras berukurang. Sehingga terjadi hukum permintaan dan penawaran yang baru.
Katakanlah permintaan tinggi namun persediaan sedikit. Harga 1 karung beras isi 30 kg tadi yang awal harganya 1 gram, naik menjadi 1.5 gram. Artinya memang terjadi kenaikan harga beras yang membuat emas itu berkurang nilainya.
Nah argumen yang salah terkait bahwa dengan emas atau dirham harga barang tidak akan mengalami kenaikan adalah karena harga emas itu diasumsikan selalu mengalami kenaikan yang sama atau bahkan lebih tinggi. Artinya karena emas nilainya selalu naik, maka menggunakan emas sebagai uang tentu tidak memicu inflasi.
Dalam konteks kehidupan modern saat ini, emas cenderung mengalami pasang surut. Kadang naik tinggi kadang turun tajam. Tetapi gimana kalau seandainya kita membenarkan bahwa logika menggunakan uang emas itu anti inflasi.
Sebagai contoh, emas yang ditambang murni dijadikan uang. Kita pakai uang logam emas. Karena seiring dengan semakin sulitnya menambang emas, emas mengalami kenaikan harga yang sangat tajam. Dalam konteks ini emas menjadi kian mahal atau tetap terjadi inflasi di emas karena harganya semakin mahal.
Karena harganya semakin mahal, harga barang lainnya cenderung menjadi murah. Contoh lain, saya seorang buruh yang bekerja dengan dibayar 1 gram emas per hari. Karena emas semakin langka dan mahal, keesokannya emas yang saya terima tidak 1 gram lagi, tetapi lebih sedikit. Ini kan jelas tetap merugikan saya.
Nah, bagaimana seandainya jika emas memang semakin mahal, tetapi disisi lain harga beras juga mengalami kenaikan akibat kelangkaan beras itu sendiri. Sementara gaji saya sebagai buruh terus mengalami penurunan seiring dengan kenaikan harga emas. Jadi kesimpulannya inflasi tetap terjadi apapun uang yang kita pakai.
Jadi inflasi itu bukan karena uang saja, tetapi ada karena harga komoditas, masalah persediaan, daya beli, masalah distribusi, permintaan dan banyak faktor lainnya. Orang kerap berfikir bahwasanya mata uang islam itu dinar. Ini juga menurut saya tidak tepat. Karena menggunakan rupiah sebagai mata uang juga boleh.
*Pengamat Ekonomi, Mahasiswa S3 UIN Sumatera Utara.