Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Enam mantan anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut) dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Mereka diyakini bersalah menerima uang 'ketok palu' dari Gatot Pujo Nugroho untuk mengesahkan APBD Pemprov Sumut tahun anggaran 2012-2015.
Keenam anggota DPRD Sumut itu adalah Pasiruddin Daulay, Elezaro Duha, Tahan Manahan Panggabean, Tunggul Siagian, Fahru Rozi, dan Taufan Agung Ginting.
Selain enam orang itu, jaksa menuntut mantan anggota DPRD Sumut Musdalifah dengan pidana penjara 6 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
"Menuntut supaya majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini menyatakan para terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata jaksa KPK Ronald Worotikan saat membacakan surat tuntutan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta, Senin (22/4/2019).
Mantan wakil rakyat itu juga diharuskan membayar uang pengganti perkara dengan jumlah yang berbeda. Apabila keduanya tidak membayar uang pengganti, akan dikenai pidana penjara tambahan.
Pidana tambahan membayar uang pengganti:
1. Pasiruddin Daulay, Rp 77,5 juta
2. Elezaro Duha, Rp 315 juta
3. Musdalifah, Rp 477 juta
4. Tahan Manahan Panggabean, Rp 905 juta
5. Tunggul Siagian, Rp 477,5 juta
6. Fahru Rozi, Rp 372 juta
7. Taufan Agung Ginting, Rp 192,5 juta
Apabila para terdakwa tidak membayar uang pengganti, harta benda akan disita KPK untuk dilelang. Jika harta benda tidak mencukupi, enam terdakwa akan dikenai pidana tambahan 1 tahun penjara. Selain itu, khusus untuk Musdalifah pidana tambahan 2 tahun penjara jika harta benda tidak mencukupi.
Jaksa juga meminta agar hakim mencabut hak politik ketujuh terdakwa untuk dipilih selama 5 tahun setelah menjalani pidana pokok. "Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik 5 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok," ujar jaksa.
Mereka disebut jaksa telah mengembalikan beberapa uang yang mereka terima dari suap itu, Pasarudin telah mengembalikan Rp 50 juta, Elezaro Rp 200 juta, Musdalifah Rp 500 ribu, Tahan mengembalikan Rp 130 juta, Tunggul mengembalikan Rp 100 juta, Fahru kembalikan Rp 25 juta, dan Taufan mengembalikan Rp 250 juta.
Jaksa menyebut kasus ini bermula saat pimpinan DPRD Sumut Chaidir Ritonga, M Afan, Kamaluddin Harahap, dan Sigit Pramono Asri melakukan pertemuan dengan Sekda Pemprov Sumut Nurdin Lubis dan jajaran Pemprov Sumut. Untuk memenuhi permintaan itu, Gatot Pujo mengumpulkan uang dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk diberikan kepada para anggota DPRD Sumut.
Selain itu, para anggota DPRD Sumut meminta kembali uang ketok palu kepada Gatot Pujo. Akhirnya disepakati proyek senilai Rp 1 triliun diganti Rp 50 miliar untuk seluruh anggota DPRD itu. Pembagian uang itu melalui Bendahara Sekretaris Dewan M Alifaniah agar seolah-olah anggota DPRD Sumut mengambil gaji atau honor setiap bulannya.
Kemudian pada tahun anggaran 2014 dan 2015, pimpinan DPRD Sumut kembali bertemu dengan jajaran Pemprov Sumut untuk minta uang ketok palu. Uang itu dibagikan Sekwan Sumut Randiman Tarigan kepada anggota DPRD, termasuk para terdakwa.
Jaksa juga menyebut mereka menerima uang menolak usulan hak interpelasi dugaan adanya pelanggaran terhadap Permendagri terkait evaluasi Ranperda Pemprov Sumut tentang APBD dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran RAPBD tahun 2014. Atas usulan tersebut, Gatot akan memberikan kompensasi Rp 15 juta kepada masing-masing anggota DPRD itu, termasuk mereka berempat.
"Para terdakwa masing-masing menerima uang, yaitu Pasiruddin Daulay Rp 127,5 juta, Elezaro Duha, Rp 515 juta, Musdalifah Rp 477,5 juta, Tahan Manahan Panggabean Rp 1,35 Miliar, Tunggul Siagian Rp 577,5 juta, Fahru Rozi Rp 397,5 juta, Taufan Agung Ginting Rp 442,5 juta. Kami berkesimpulan perbuatan terdakwa terpenuhi secara sah," jelas jaksa.
Atas kasus ini, jaksa menyakini para terdakwa melanggar Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 KUHP. dtc