Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya ingat dulu, pada 28 Januari 2010 aksi mahasiswa di berbagai kota di Indonesia berdemonstrasi meminta Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono mundur dari jabatannya. Itu persis 100 hari setelah pemerintahan baru, setelah SBY-Boediono memenangkan Pemilu 2009.
Padahal Pemilu adalah sebuah sistem formal dan sah untuk suksesi kepemimpinan nasional. Tentu saja peristiwa politik itu belum menyelesaikan soal. Ini hanya sebuah fundamen, dan ikhtiar bangsa, Negara dan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan.
Demikianlah halnya. Selalu saja si pragmatis-gradual yang berseberangan dengan si revolusioner.
Sekarang pun terbetik “cerita” akan ada pepole power, syahdan, menyusul Pilpres dan Pileg 2019 yang riuh rendah.
Kita telah lelah bertengkar sejak 1945, 1950-an, 1966 dan 1998. Mengapa tidak berani dan tulus bersintesa di jalan tengah, dan kemudian berproses mewujudkan cita-cita bersama? Apakah sejarah hanya terdiri dari pertikaian-pertikaian, sedang dengan Belanda kita berunding di Linggarjati, Renville, Konferensi Meja Bundar?
Ilusi kadang suka bertebaran di angkasa pemikiran sebagian orang. Saya tidak ahli revolusi. Tapi saya membayangkan bahwa selembar daun tua akan luruh dari reranting pohon kendati tak ada badai. Tetapi jika badai bertiup kencang, bahkan dedaunan hijau juga gugur, berikut ranting, cabangnya. Bahkan, pohonan itu terserabut bersama akar-akarnya.
Unsur daun tua dan badai itu yang tidak menggejala dalam iklim sosial politik di negeri ini, hari-hari ini.
Tak terlihat adanya perpecahan kabinet seperti di zaman Soeharto. Kita ingat kala itu sejumlah menteri mundur dari kabinet, seperti Ginanjar Kartasasmita dan Akbar Tandjung.
Jika hanya demonstrasi mahasiswa tanpa diikuti kerusuhan massif di Jakarta, dan beberapa kota besar di Inonesia pada 1998, Soeharto tidak akan lengser. Apalagi jika nilai rupiah tidak terjun bebas dari Rp 2.5000 menjadi Rp 17.500 per US%.
Belum lagi oleh faktor banyak bank yang bangkrut karena diembus oleh krisis moneter dan berubah menjadi krisis multidimensional yang mengakibatkan instabilitas nasional.
Prasyarat revolusi itu tak menggejala baik secara vertikal dan horizontal seperti hari-hari ini.
Memang ketakpuasan selalu ada saja. Tapi seberapa banyakkah yang simultan tergerak otomatis dalam sebuah people power?
Jangan-jangan gerakan ini elitis belaka. Sah saja. Betapapun demonstrasi adalah ekspresi dari demokrasi. Mungkn, ada yang kecewa, tetapi sebaliknya, rakyat lebih menghendaki perubahan nasib.
People power itu harus matang. Tak dikarbit-karbit. Orang yang memuja revolusi memang herois. Tetapi jika tidak menggejala secara sosiologis, politis, psikologis, dan oleh faktor ekonomi yang morat-marit dan meletupkan kemarahan massal, ia hanya ilusi. Fatamorgana.