Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Siapapun yang kelak diumumkan oleh KPU sebagai pemenang Pemilihan Presiden – entah Jokowi atau Prabowo – saya ingat ungkapan Batak. "Molo monang ho marjuji, sude mandok lae". Artinya kalau kau menang berjudi, semua akan memanggil kau "lae”. Atau dengan sebutan lain, misalnya, bang, bos atau pak katua.
Apalagi jika memenangkan pertarungan politik yang besar, yakni Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019– tentu jauh lebih spektakuler, bahkan lebih mulia dibandingkan sekedar menang berjudi. Malahan wibawanya pun menjulang di mata publik.
Saya berharap mereka yang merasa telah “berkeringat” ikut berbuat untuk memenangkan sang Capres (dan Cawapres) tidak diam-diam menyimpan hasyrat terpendam. Yakni, akan meraih sesuatu, mungkin menjadi menteri dalam kabinet, atau posisi lain di pemerintahan, bisa menjadi dirut BUMN, atau duta besar, atau setidaknya duduk di Dewan Pertimbangan Presiden, atau apa sajalah yang bergengsi di negeri ini.
Suasana batin macam itu, memang wajar dan lumrah saja menggerayangi mereka yang duduk di Tim Sukses Pemenangan, atau mereka yang menjadi pengurus pusat partai politik pendukung Capres-Cawapres. Mungkin, tak semua tampil blak-blakan, tapi lebih banyak yang diam-diam menjaga imej, walau di dalam hati sangat ingin ditunjuk presiden menjadi “sesuatu” di negeri ini. Ya, menjadi somebody!
Namun sebelum terlanjur kecewa, saya mengingatkan bahwa membagi-bagi kursi bagi tokoh parpol yang mendukungnya sebagai Capres sepertinya menunjukan kekurang-ikhlasan berjuang di penggung politik. Ibaratnya, ada pamrih, atau ada udang di balik batu. Lagi pula, membentuk kabinet itu adalah hak prerogatif presiden. Bahkan, jabatan menteri sebaiknya diisi oleh kalangan profesional dibandingkan mengakomodasi para politikus tapi tidak mempunyai kompotensi.
Memang, seorang presiden terpilih akan selalu menghadapi dilema. Memilih menteri yang profesional, atau juga mengakomodasi politikus pendukung, yang telah “mati-matian” ikut memperjuangkan kemenangan. Tapi siapapun yang dipilh, haruslah tetap berpegang kepada prinsip the right man (or woman) on the right place. Era “Horas, Lae” haruslah ditafsirkan secara rasional dan modern. Bukan perkoncoan. Tabik!