Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Ramadan sebentar lagi akan datang, dan kita harapkan semua umat islam menyambut bahagia. Bahkan sejak kecil penulis juga sering mendapatkan isi ceramah dari banyak ustaz yang memetik sebuah hadis. Di mana hadisnya berbunyi ”Siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka”.
Sayangnya, hadis tersebut tidak menampilkan sumber teks tersebut berasal. Prof KH Ali Musthafa Ya’qub MA dalam bukunya "Hadis-hadis Bermasalah di Bulan Ramadan" menuliskan bahwa hadis dengan teks seperti di atas itu terdapat dalam kitab Durrotun Nashihin karya Utsman bin Hasan al-Khubawi. Dan banyak ulama menilai hadis tersebut masuk dalam hadis dhaif.
Untuk itu, dalam tulisan ini saya merujuk kepada firman Allah SWT yang berbunyi: “Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus [10]: 58).
Bahkan Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan, “Bagaimana tidak gembira? seorang mukmin diberi kabar gembira dengan terbukanya pintu-pintu surga. Tertutupnya pintu-pintu neraka. Bagaimana mungkin seorang yang berakal tidak bergembira jika diberi kabar tentang sebuah waktu yang di dalamnya para setan dibelenggu. Dari sisi manakah ada suatu waktu menyamai waktu ini (Ramadan). Latha’if Al-Ma’arif hlm.148.
Namun, sepanjang perjalanan hidup penulis, kata gembira saat Ramadan itu justru dimaknai lain oleh sebagian masyarakat kita. Bergembira bukan lagi hanya berbicara substansi kehadiran Ramadan itu yang memberikan peluang besar bagi ummatnya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tetapi makna gembira ini justru lebih banyak berbau hal duniawi dan cenderung materialis.
Banyak masyarakat yang menilai Ramadan sebagai bulan di mana jam kerja dan belajar berkurang, ada banyak makanan enak yang bisa disantap saat berbuka ataupun sahur, ada banyak kegiatan berbuka bersama, bermain petasan, jalan-jalan sore, buat segala macam makanan menjelang lebaran, tersedianya banyak minuman, ada THR, belanja pakaian baru, acara mudik karena ada libur panjang saat lebaran, berwisata dan banyak hal lain yang membuat masyarakat itu “bergembira” dengan hadirnya bulan suci Ramadhan.
Motivasi bergembira dengan lebih mendekatkan diri kepada urusan duniawi ini saya nilai keliru dan merugikan manusianya itu sendiri. Saya akan buktikan sendiri dengan data maupun fakta ekonomi mengapa motivasi “bergembira” tersebut sebaiknya ditinjau kembali.
Fakta saat Ramadan adalah tren konsumsi masyarakat itu selalu mengalami kenaikan, atau masyarakat semakin banyak kebutuhannya. Buktinya harga kebutuhan masyarakat kerap naik saat Ramadan, yang artinya inflasi naik di sini.
Ambil contoh ada dua orang bernama Umar dan Ali. Umar menabung di bank tersebut sebesar Rp 100.000 dengan bunga 5% per tahun. Sementara Ali adalah seorang pengusaha yang meminjam uang sebanyak Rp 1 miliar di bank yang sama.
Karena bank butuh keuntungan, maka di saat Umar menabung dengan bunga 5% per tahun, maka katakanlah Ali meminjam uang Rp 1 miliar dengan bunga 10% per tahun, karena bank umumnya mengambil keuntungan dari selisih bunga pinjaman dikurang bunga simpanan. Dari uang Rp 1 miliar yang dipinjam Ali, Ali membuka lahan sawit seluas 10 hektar, dan mempekerjakan 10 orang.
Waktu terus berjalan, dan setahun kemudian inflasi di Indonesia itu sebesar 7% per tahun. Artinya dalam kurun waktu satu tahun terjadi kenaikan harga barang rata-rata sebanyak 7%.
Bisa juga diilustrasikan begini, di saat Umar setahun lalu membeli beras satu karung seharga Rp 100.000, namun saat ini harga beras menjadi Rp 107.000/karung.
Dan setahun lalu umar menabung Rp 100.000 dengan bunga 5%, berarti saat ini uangnya bertambah menjadi Rp 105.000. Di saat Umar menarik uang dari bank dan dibelikan beras, ia menemukan bahwa uang yang ditabunganya bertambah, tetapi penambahan uang tersebut masih kurang untuk membeli beras. Karena setahun lalu harga beras Rp 100.000/karung, saat ini harga beras Rp 107.000/karung. Jadi uang tabungan Umar masih harus nombok 2.000 untuk beli satu karung beras.
Bahasa ekonomi sederhananya begini, di saat inflasi lebih besar dari tabungan, maka penabung itu akan dirugikan. Karena uang tabungan tadi penambahannya masih lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang. Kalau ini yang terjadi, maka akan ada banyak penabung yang menilai menabung itu ga untung. Mereka bisa saja tarik uangnya dari bank.
Kalau semua penabung menarik uangnya, maka konsekuensinya adalah ekonomi menjadi tidak berputar. Karena pengusaha yang meminjam uang akan kesulitan untuk mendapatkan uang dari bank. Dan kondisi ekonomi bisa dikatakan memasuki masa krisis.
Agar penabung tetap betah dan krisis tidak terjadi maka bunga simpanan terpaksa harus dinaikkan. Dari yang sebelumnya sebesar 5% dan inflasi sebesar 7%, maka katakanlah bunga tabungan dinaikkan menjadi 8% (diatas besaran inflasi). Dengan harapan si penabungnya tetap betah menabung. Tetapi, selesai dari masalah bunga tabungan, muncul masalah di bunga pinjaman.
Ali yang awalnya meminjam uang Rp 1 miliar dengan bunga 10%, saat ini berniat meminjam uang lagi untuk memperluas usahanya. Katakanlah Ali berniat meminjam Rp 1 miiar lagi, tetapi bank saat ini mengenakan bunga pinjaman sebesar 15% (dari yang sebelumnya sebesar 10%). Karena kenaikan bunga tersebut Ali membatalkan pinjamannya. Padahal jika seandainya Ali mendapatkan pinjaman sebesar Rp 1 miliar, maka Ali seharusnya mempekerjakan 10 orang lagi.
Sayang, 10 orang potensi tenaga kerja hilang karena bunga pinjaman naik. Bayangkan jika ada 1 juta orang pengusaha yang nasibnya sama seperti Ali, maka akan ada potensi tenaga kerja hilang 10 juta orang di negeri ini. Artinya apa? Harga barang yang naik saat Ramadan dan Idul Fitri itu memicu terjadinya inflasi. Di saat inflasi naik, suku bunga naik, pengangguran bertambah, dan kemiskinan sulit diturunkan.
Artinya, sikap boros saat Ramadan itu berdampak pada penambahan angka kemiskinan. Perilaku atau budaya “bergembira” yang bersifat kepada pemuasan hawa nafsu duniawi dan sangat metarialis ini membawa rentetan masalah bagi manusianya.
Seorang ekonom manapun pasti bingung, jika ditanya mengapa saat puasa yang notabene menahan lapar dan haus dari imsak hingga magrib, tetapi harga pangannya cenderung mengalami kenaikan?. Bukannya puasa itu justru menekan konsumsi?.
Sayangnya, banyak fakta di lapangan yang justru berbicara lain. Setelah Ramadan justru berat badan naik, punya kendaraan bermotor, cara berpakaian jadi trendi, bukannya islami, perhiasan banyak bergelantungan di sekujur tubuh, rumah di cat, perabotan rumah diperbanyak, selfie tempat makan mewah selama Ramadan dan banyak lagi.
Jika hal-hal tersebut yang membuat kita bergembira selama Ramadan, maka sudah pasti ada yang salah dengan niat kita d isitu. Bahkan beberapa tindakan tersebut mengarah kepada perbuatan boros dan ria. Dan perbuatan itu adalah perbuatan setan, penuh dosa.
Dan pengalaman penulis selama masa hidup, ada beberapa kebiasaan yang kerap dibuat oleh orang tua dalam mendidik anaknya agar berpuasa. Orang tua kerap memberikan motivasi dengan materi agar anaknya berpuasa. Seperti, menyajikan menu tambahan makanan enak saat sahur dan berbuka yang tidak tersedia di hari biasa, memberikan kompensasi pakaian atau mainan tertentu setelah mampu bepuasa.
Bahkan ada orang tua yang seperti layaknya seorang pengusaha yang menggaji karyawannya. Yakni memberikan kompensasi berupa uang yang jumlahnya dikalikan dengan banyaknya hari (kerja) puasa yang dilakukan oleh si anak. Dengan cara cara seperti ini, maka materi itu yang jadi motivasinya. Niatnya dibentuk dengan motivasi untuk mendapatkan materi.
Padahal membangun karakter anak untuk berpuasa itu bisa dilakukan dengan pendekatan pada ayat-ayat suci Alquran. Ditanamkan kesadaran bahwa seorang muslim itu memiliki kewajiban yang tertuang dalam kitab sucinya. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Sehingga tidak harus diiming-imingi dengan materi tertentu.
Jadi memang ada budaya maupun kebiasaan yang sudah sepatutnya kita tinjau kembali, dan perlu untuk diruah. Saya pastikan ini bukan karena salah agamanya, tetapi memang kebiasaan manusianya yang sudah membudaya. Dan sayangnya banyak manusia di dunia itu yang memiliki kebiasaan serupa. Faktanya inflasi juga kerap terjadi bukan hanya di bulan Ramadan saja. Natal, Tahun Baru, Imlek dan hari besar keagamaan lain juga kerap menjadi penyumbang inflasi di dunia.
Memang, dari sudut pandang ekonomi, perayaan keagamaan juga memiliki nilai positif, salah satunya adalah aktifitas ekonomi berputar lebih kencang saat perayaan tersebut. Tetapi kita memang harus mengkaji lebih dalam lagi. Budaya yang berlebihan (tabzir) saat perayaan keagamaan ini lebih banyak memberikan dampak positif atau justru sebaliknya.
Karena sasaran utama beribadah itu adalah taqwa, dan bulan Ramadan adalah bulan agar kita mampu menggapai derajat taqwa. Selamat menyambut datangnya bulan suci Ramadan, Mohon maaf lahir dan batin!
*Gunawan Benjamin, Pengamat Ekonomi, Mahasiswa S3 Ekonomi Syariah UIN Sumatera Utara.