Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Air melulu yang menghantui Nabi Nuh. Kemudian, ia pimpin umatnya berperahu mencari tanah idaman. Gubernur Jakarta pun harus memimpin rakyatnya hijrah ke “kota baru.” Masalahnya, isu besar Jakarta yang macet dan banjir bagaikan tak tertanggulangi. dengan tambal sulam.” Padahal masalah baru muncul bak deret ukur.
Bahwa resapan air ditutupi vila dan pemukiman maupun hutan gundul di hulu Sungai Ciliwung adalah penyebab banjir, tak lagi perlu didiskusikan. Daerah aliran sungai yang semakin menyempit mengakibatkan luapan air pun sudah berita usang. Termasuk sistem drainase Jakarta yang tumpat adalah penyebab banjir, bukanlah cerita baru.
Kita pun muak menyaksikan permukaan tanah yang dijajah oleh kapitalisme, lalu berganti dengan jalan tol, apartment, plasa, hotel dan gedung jangkung dengan lapangan luas disemen yang kedap air. Kok, kayak kolam renang penampung hujan dan banjir?
Tragis. Selama ini, demi pertumbuhan ekonomi, ekologi diabaikan. Padahal, pertumbuhan ekonomi seketika dapat dirampas oleh luapan banjir saban hujan lebat. Lost opportunity dan kerugian riil triliun rupiah, serta korban jiwa selalu mengintai.
Mau tidak mau, pembenahan tataruang Jabodetabek dan Bopuncur (Bogor-Puncak-Cianjur) mendesak ditunaikan. Meskipun berbeda gubernur, walikota dan bupatinya, kawasan ini harus dibenahi secara terintegrasi. Otonomi daerah bukanlah ego sektoral.
Bagaimana jika Pelabuhan Tanjung Priok dipindahkan ke Banten. Pelabuhan ini merepotkan perkapalan, industri manufaktur, ekspotir, transportasi, warga, dan Pemprov DKI, sehingga menciptakan high cost economics. Jalanan pun sangat macet, terlebih saat banjir. Jika dipindahkan, akan banyak sekali industri di Jakarta pindah ke Banten dan Jawa Barat.
Kawasan Berikat Nusantara Pulo Gadung juga pindah, sehingga banyak ruang menjadi kosong dan pola transpor pun berubah. Truk besar tidak lagi melewati kota tetapi masuk jalan tol dan langsung ke Banten, dan pusat industri di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Berbagai fasilitas di Jakarta yang saban tahun mengundang urbanisasi juga dipindahkan ke luar kota. Ini lebih efektif ketimbang memndahkan ibukota republik ini ke Kalimantan..
Pulau Buatan
Jakarta tinggal dikelola seperti kota jasa dan wisata Singapura. Jakarta harus menjadi etalase dan pusat budaya Indonesia. Jika gedung DPR dan MPR di Senayan pindah ke luar kota, cocok menjadi gedung megakonser. Akustiknya bagus, dan berkapasitas cukup. Pusat politik itu menjadi gelanggang seniman, dan art center terbesar di Indonesia.
Kemudian, Bank DKI jangan cuma jadi jago kandang. Bersama BUMD yang gede gede seperti PT Pembangunan Jaya, dan PT Jakarta Propertindo, Bank DKI harus invasi ke Jawa dan luar Jawa, seperti Temasek yang invasi ke Indonesia. Jika Jakarta membangun daerah di luar dirinya, Jakarta akan meraih jasa dan untung. Money to money, kata orang.
Pendeknya, Jakarta harus lebih sepi. Jika pusat pemerintahan dan semua kantor departemen dipindahkan ke luar kota, maka sistem transportasi berubah. Hampir sejuta pegawai negeri di Jabodetabek tak lagi merubung Jakarta, yang memacetkan arus lalulintas.
Pendapatan Jakarta akan turun untuk sementara. Maklum, harus membiayai penataan kota, membuat resapan air, drainase, kanal dan ruang terbuka. Tapi setelah rampung, maka rupiah sebagai pusat jasa akan mengalir dalam long time.
“Jakarta baru harus bagai bejana berhubungan dengan ibukota provinsi terdekat di Jawa, Bali dan Sumatera. Inilah wajah otonomi daerah, pasca sentralisme Orde Baru. Saban ibukota provinsi adalah pusat pertumbuhan, yang tak lagi dimonopoli oleh Jakarta.
Ada juga alternatif lain. Pengerukan 13 sungai di Jakarta dan proyek Banjir Kanal Timur, dan Barat tak lagi bisa ditunda. Tanah urukannya akan menggunung, dan tinggal menimbunkannya ke tengah laut menjadi sebuah pulau buatan. Mulanya dibikin konstruksi berkeliling yang kedap air. Lalu, tanah urukan itu ditimbunkan. Kelak luasnya bisa 500 hektare atau seribu hektare.
Cita-cita ini bisa dijual kepada konsorsium asing, seperti pulau Cansai, dengan bandaranya di perairan Osaka, Jepang. Semua pelabuhan baru di Korea juga adalah pulau buatan. Berikanlah konsesi kepada konsorsium itu untuk mengelola pulau buatan itu untuk masa tertentu. Sebuah jembatan akan menghubungkan pulau itu dengan Jakarta, alangkah hebatnya.