Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Saya sangat yakin bahwa ada pembaca tulisan ini yang juga pernah pengalaman yang sama seperti judul di atas, atau pernah punya pertanyaan yang sama. Dan penulis juga pernah punya pengalaman yang keduanya. Pernah buka rekening dan pernah bertanya “kok bisa buka rekening syariah di cabang bank konvesional?”
Tapi itu dulu, sudah lama sekali. Namun begitu belajar dan praktek langsung, baru penulis menyadari bahwa memang tidak ada masalah sebenarnya jika kita berpraktek demikian. Satu cabang melayani sekaligus transaksi konvensional dan syariah secara bersamaan, atau bank yang usaha syariah dan konvensionalnya masih menyatu. Kita tidak perlu meragukan kesyariahan membuka rekening tabungan di bank tersebut.
Tulisan ini penulis tuangkan berdasarkan pengalaman selama bekerja di bank, serta disandingkan dengan pengetahuan yang didapat dari buku serta literasi lainnya, maupun dari proses belajar di bangku kuliah. Berikut beberapa logika yang bisa dipahami mengapa kita tidak perlu meragukan model pembukaan rekening seperti itu.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana bisa dikatakan membuka rekening syariah di cabang konvesional itu tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Padahal kan bank konvensional itu menganut sistem bunga atau riba. Ini kan jelas hukumnya haram.
Jika melihat dari luar memang akan seperti itu kelihatannya. Tetapi hanya sedikit orang yang memahami aliran dana terkait dengan uang yang disetorkan saat membuka rekening syariah di cabang Bank konvensional. Tetapi, sebelum sampai ke sana, kita harus memahami terlebih dahulu bahwa uang yang kita tabungkan di rekening bank syariah itu adalah sebuah zat yang halal.
Untuk mempermudah memahaminya saya pakai analogi. Misal ada satu orang pengusaha yang memiliki uang dalam jumlah besar. Si pengusaha tadi memiliki dua orang yang menjadi orang kepercayaannya untuk membangun usaha, katakanlah A dan B. A menjual daging sapi di pasar, sementara B menjual daging babi.
Baik A dan B ini menyetorkan uang hasil usahanya kepada si pengusaha. Setiap harinya ada rincian uang yang tertulis, di mana masing masing A dan B tadi memiliki rincian detail dan pengusaha tadi juga memiliki rincian detail uang yang sama. Tetapi saat menerima uang dari kedua belah pihak tersebut (A dan B), pengusaha menyimpannya dalam satu brankas yang sama.
Di setiap akhir bulan, A melaporkan jumlah uang yang disetorkan ke pengusaha dengan menunjukan bukti setorannya. Si B juga demikian. Setelah pengusaha menghitung semua uang yang ada di brangkas, maka pengusaha mengeluarkan kewajiban kepada kedua pengusahanya dalam bentuk bagi hasil yang mereka terima.
Padahal, uang yang diterima pengusaha tadi sudah tercampur antara uang hasil dari penjualan daging sapi maupun daging babi. Nah, pada saat A menerima bagi hasilnya, apakah uang yang diterima si A tadi menjadi tidak halal?. Tentunya tidak logis jika kita menilai bahwa uang yang diterima si A tadi haram.
Nah, dari analogi itu saya cuman menyampaikan bahwa uang itu asal zatnya adalah halal. Ingat lho saya berbicara zat, bukan berbicara alur transaksinya. Karena kalau berbicara alur transaksi yang dilakukan oleh si A tadi dengan menjual daging sapi adalah halal. Artinya transaksi yang dilakukan oleh si A dalam menghasilkan uang adalah halal. Berbeda dengan alur transaksi yang dilakukan oleh si B.
Nah analogi selanjutnya akan menghasilkan hal yang berbeda. Misalkan A menitipkan barang dagangannya ke si pengusaha untuk disimpan. Sementara B juga melakukan hal yang sama dengan menitipkan barang daganganya ke pengusaha. Dan oleh si pengusaha, barang dagangan tersebut dicampur. Nah di sini barang dagangan si A tadi bisa dinilai menjadi haram.
Kalau zatnya sudah haram, mau dilakukan model transaksi apapun jatuhnya tetap haram. Nah kembali lagi ke masalah pembukaan rekening syariah di bank konvensional. Saat nasabah membuka rekening syariah di bank konvensional, maka uang tersebut nantinya bisa jadi akan tercampur dengan uang nasabah lain di bank konvensional.
Selanjutnya, divisi syariah dari bank tersebut akan melihat catatan berapa banyak uang yang diterima saat membuka rekening syariah. Selanjutnya uang tersebut ditarik oleh divisi syariahnya, untuk selanjutnya diinvestasikan ke produk-produk yang halal. Seperti tabungan dan giro wadi’ah atau ke deposito mudharabah.
Penempatan uang dari dana pihak ketiga tadi pun dialokasikan untuk membiayai usaha-usaha produktif yang syariah. Atau diinvestasikan ke pasar keuangan syariah. Jadi dalam brangkas bank tadi tidak dipisahkan mana uang dari tabungan yang syariah dan mana uang yang riba. Uangnya tercampur, namun alur transaksi saat uangnya masuk kepada unit atau divisi syariah dikelola sesuai dengan prinsip syariah.
Karena pada dasarnya aliran transaksi bank konvensional dan bank syariah itu memang berbeda. Jadi halal atau haramnya uang dalam transaksi perbankan itu dilihat dari alur transaksinya, bukan dari zatnya. Jadi kalau ada pendapat bahwa membuka rekening syariah di bank konvensional menyatakan bahwa itu haram karena uangnya tercampur, saya pikir pendapat tersebut mengada-ada.
Jika masih ada orang yang kesulitan menilai bahwa zat uang tadi itu halal. Maka kita tambahkan analogi lainnya. Misalkan ada seorang pengamen (artis) yang memang kerjanya itu menghibur orang. Pengamen mengunjungi orang yang lagi santai berkumpul, tanpa melihat latar belakang dari orang-orang yang berkumpul tadi. Walaupun misalkan, dari orang yang berkumpul tadi terdapat orang yang mendapatkan rezeki dengan cara tidak halal.
Setelah mengumandangkan beberapa lagu, pengamen tadi mempersilahkan bagi mereka yang merasa terhibur dan memiliki uang (rezeki) untuk berbagi uang kepada si pengamen. Pemberian uang dilakukan secara ikhlas dan sukarela tanpa ada paksaan ke pengamen. Jadi ditransaksikan dengan ridha oleh kedua belah pihak. Uang yang diterima pengamen tadi tentunya halal.
Jadi pengamen tadi tidak harus menanyakan pekerjaan, pendidikan, latar belakang, agama, keluarga, terus menanyakan asal muasal uang yang akan diterima pengamen. Cukup pengamen memastikan dan meyakini bahwa pekerjaan yang dilakukannya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kalaupun ada yang merasa terganggu dengan suara pengamen, etikanya sebelum ngamen, pengamen tadi mohon izin terlebih dahulu.
*Pengamat Ekonomi Millenial, Mahasiswa S3 Ekonomi Syariah UIN Sumatera Utara.