Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Istri saya mengeluh. Harga bawang putih yang semula Rp 30.000 naik menjadi Rp 85.000/kg. Padahal bawang putih biasa dijadikan sebagai bumbu masakan agar lebih berasa. Bahkan jika dikunyak mentah-mentah bisa menurunkan darah tinggi.
Istri saya biasa berbelanja di sebuah pasar di kawasan Jalan Setiabudi Medan. Eh, saya pun mewawacarainya. “Ikan tongkol berapa harganya?” tanya saya. “Dari Rp 30.000 jadi Rp 40.000,” katanya. Ikan dencis juga dari Rp 20.000 jadi Rp 30.000. Adapun daging sapi dari Rp 110.000 naik jadi Rp 140.000/kg.
Untunglah beras stabil saja. Beras medium Rp 11.000/kg. Beras premium Rp 13.000. Maklum, menurut Bulog, ada stok 60.000 ton yang cukup hingga 6 bulan ke depan.
Sebetulnya rezim kenaikan harga ini selalu setia datang saban memasuki Puasa Ramadan hingga Lebaran Idulfitri. Syahdan, karena warga kota bergairah berbelanja sehingga permintaan berkobar. Maka galibnya hukum pasar, harga pun menaik.
Tapi istri saya menyangkalnya. Orang rada ramai berbelanja hanya sehari jelang Puasa Ramadan. Usai itu malah cenderung sepi. Bahkan ibu rumahtangga lebih suka membeli sekadar kebutuhan saja. Misalnya membeli bawah putih hanya seperempat kilo, dan sudah cukup untuk kebutuhan sepekan.
Bahkan, banyak juga ibu rumahtangga yang “malas” belanja. “Beli yang sudah jadi saja di restoran,” kata istri saya. Apalagi sudah ada gofood, berbelanja melalui online. Praktis, dan tidak repot-repot untuk memasak.
Tapi mengapa harga-harga bahan pangan tetap menaik? Jangan-jangan karena sudah menjadi persepsi bahwa permintaan menaik saat Puasa Ramadan sehingga otomatis harga-harga pun menaik. He-he, jangan-jangan persepsi ini telah berubah menjadi mitos pula.
Entahlah. Meskipun menurut teori harga-harga akan menaik jika permintaan tinggi dan stok tak mengimbanginya. Atau jika stok memadai, tapi distribusinya tidak lancar, mungkin karena faktor transportasi atau musim hujan.
Tak mustahil pula para distributor lebih suka mengirimkan barang jualannya ke daerah atau pasar dengan harga tinggi. Akibatnya, distribusi berkurang di daerah dan pasar yang tadinya harganya rendah, tapi akibatnya kemudian harga pun menaik. Distributor selalu mencari margin yang tinggi, bukan?
Entah mana yang benar. Apakah karena sudah tersandera oleh mitos harga naik saat Puasa Ramadan, atau murni karena hukum pasar? Saya kira ini, “PR” bagi Tim Pengendali Inflasi Daerah alias TPID. Tabik!