Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Perang dagang yang berkecamuk belakangan membuat pasar keuangan global terpuruk. Amerika di luar perkiraan justru melakukan tekanan terhadap Cina dengan menaikkan tarif, dan kondisi diperburuk dengan sikap balasan Dina terhadap Amerika Serikat. Eskalasi perang dagang belakangan ini terus mengalami peningkatan. Dan sangat mengkhawatirkan.
Indonesia di sisi lain adalah negara dengan membukukan surplus perdagangan dengan Amerika Serikat. Surplus ini sangat berpotensi memicu “daya tarik “ AS untuk memperluas perang dagang dengan Indonesia. Karena memang karakter dari Presiden AS belakangan adalah dengan banyak melakukan serangan terhadap negara yang diuntungkan (surplus) berdagang dengan AS.
Perang dagang yang berkecamuk antar AS dan Cina saja sudah sangat merepotkan ekonomi nasional. Konon katanya jika seandainya AS secara berhadap-hadapan mengajak perang dagang dengan kita, ini bisa membuat Indonesia akan kesulitan mengendalikan sejumlah indikator ekonomi makro nasional. Katakanlah mata uang rupiah, IHSG, investasi asing, hingga neraca perdagangan berpeluang memburuk.
Kita tengah berhadapan dengan tantangan besar di masa yang akan datang. Ancaman perang dagang ini sangat berpeluang menekan laju pertumbuhan ekonomi nantinya. Indonesia akan berhadapan dengan masalah yang lebih rumit dan lebih kompleks jika seandainya ancaman perang dagang langsung ini menjadi kenyataan.
Indonesia harus bersiap dengan segala kemungkinan terburuk. Lobi-lobi tingkat tinggi harus diambil untuk melindungi ekonomi nasional. Kondisi akan semakin parah jika tidak tercapai perundingan damai antara AS-Tiongkok, selanjutnya AS justru menjadikan Indonesia sasaran perang dagang negara selanjutnya.
Harapan akan membaiknya hubungan dagang AS dengan negara lain masih tetap ada kemungkinan untuk terwujud. Katakanlah, perang dagang ini bukan hanya merugikan pihak yang diajak perang. Tetapi ekonomi AS juga berpeluang masuk kedalam jurang resesi. Saya meyakini AS juga berhitung terkait dampak buruk yang akan mereka terima seandainya perang dagang ini terus berkecamuk.
Ekonomi AS juga akan mengalami tekanan karena juga masih mengandalkan Tiongkok maupun negara lain untuk urusan dagangnya. Oleh karena itu, Trump juga menyatakan bahwa masih dibutuhkan waktu sekitar 3 hingga 4 minggu untuk menentukan apakah ada kemungkinan jalinan hubungan yang lebih baik antara kedua negara.
Kemungkinan tersebut ditafsirkan sebagai kemungkinan bahwa AS pun menyadari adanya dampak buruk dari perang dagang yang tidak berkesudahan. Pelaku pasar justru melihatnya ada kemungkinan bahwa AS pada akhirnya akan melunak sikapnya terhadap Tiongkok. Meskipun hal ini sifatnya masih perkiraan atau bahkan spekulatif.
Tetapi dugaan itu masuk akal. Karena membiarkan perang dagang yang terus berkecamuk justru bisa mengakibatkan produk dari AS menjadi tidak kompetitif lagi di pasar. Hal ini tentunya sangat merugikan AS. Selain itu perang dagang juga sangat berpeluang membuat US Dolar mengalami penguatan. Yang lagi-lagi akan membuat negara ini mengalami tekanan dari sisi neraca perdagangannya.
Belum lagi kita mengkalkulasikan kemungkinan adanya serangan di pasar keuangan akibat Tiongkok yang melakukan penjualan besar-besaran di pasar obligasi AS. Jika itu terjadi maka aka nada gangguan di pasar keuangan AS yang bisa saja merusak stabilitas ekonomi di AS. Jadi peluang terciptanya perdamaian masih ada.
Apa yang terjadi belakangan ini saya pikir sifatnya masih dalam proses tawar menawar antara kedua belah pihak (AS-Cina). Belum final, namun kita harus bersiap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi terhadap perekonomian nasional.
*Pengamat ekonomi, alumni UGM Yogyakarta, bekerja sebagai dosen dan analis di salah satu perusahaan sekuritas di Kota Medan.