Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Perkembangan teknologi yang semakin pesat membuat masyarakat saat ini cenderung mengandalkan teknologi sebagai penopang kehidupan. Bukan hanya untuk urusan ekonomi, tatanan sosial masyarakat juga mengalami perubahan yang sangat signifikan. Interaksi masyarakt pun berubah dari yang sebelumnya dilakukan dengan bertatap muka, saat ini dilakukan dengan cara yang lebih mudah dengan bantuan alat komunikasi digital.
Di tatanan ekonomi juga demikian. Model-model transaksi keuangan saat ini juga telah berubah dari yang sebelumnya banyak menggunakan model transaksi konvensional. Sekarang berkembang model transaksi yang tidak harus penjual dan pembeli saling bertatap muka, melainkan dengan menggunakan layanan user interface (pembicaraan atau tatap muka) cukup menggunakan mobile phone, internet atau user interface digital lainnya.
Dalam Islam sendiri, modal transaksi tersebut tentunya tidak ada di masa Rasullullah SAW. Yang jelas-jelas model transaksi kala itu mempertemukan antara penjual dan pembelinya, alat bayarnya dengan menggunakan emas atau perak, barangnya terlihat jelas di depan mata. Namun, model transaksi saat ini cukup melihat melalui aplikasi untuk barang yang mau dibeli, transaksi dilakukan dengan transfer, barang dikirim ke pembeli.
Itulah sepenggal perbedaan model tatanan sosial ekonomi di zaman Rasulullah dengan zaman modern saat ini. Nah bagaimana lagi jika model berbelanjanya menggunakan kartu kredit, khususnya dengan kartu kredit syariah. Penerbitan kartu kredit syariah oleh Bank Syariah ini sebelumnya banyak menuai kontroversi, walaupun demikian Fatwa MUI membolehkan bertransaksi dengan kartu kredit syariah.
Dasar yang dipakai dalam penerbitan kartu kredit syariah adalah fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.54/DSN-MUI/X/2006, mengenai syariah card. Upsss.. tapi tunggu dulu sebelum kita membahas lebih jauh. Kenapa kita pakai landasan hukum dari MUI. Bukankah seharusnya dari Alquran atau hadis?.
Seperti yang kita ketehui bahwa di jaman Rasullullah SAW, tidak ada contoh transaksi model seperti yang sekarang. Karena kita memang berbeda zaman dengan beliau. Nah Alquran sudah barang pasti memiliki landasan hukum yang dijadikan sebagai pijakan dalam aturan kehidupan masyarakat, termasuk urusan ekonomi. Demikian halnya juga dengan hadis, sudah barang pasti banyak sunnah yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam aktifitas kesehariannya dan diriwayatkan.
Hanya, perkembangan teknologi saat ini yang mengubah pola transaksi ekonomi manusia tidak ada contohnya di zaman Rasul. Sehingga berpedoman kepada Alquran, di mana Alquran sendiri menggariskan bahwa “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59). Jadi mematuhi ulil amri hukumnya adalah wajib.
Ulama yang masuk dalam kategori ulil amri (dewan ulama dan dewan umara), kalau di Indonesia namanya adalah Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, mereka dituntut untuk membuat landasan hukum terkait dengan transaksi digital. Salah satunya terkait dengan transaksi menggunakan kartu kredit. Nah MUI sendiri sudah mengeluarkan fatwa yang dijadikan landasan hukumnya. Jadi perdebatan mengenai kontroversi kehadiran kartu kredit seharusnya berhenti di sini.
Nah, apa itu kartu kredit? Secara umum masyarakat itu mengetahui bahwa kartu kredit adalah kartu yang diberikan kepada nasabah bank, dan nasabah itu bisa melakukan transaksi jual beli barang. Teknis alur transaksinya seperti ini: Bank memberikan kuasa kepada nasabahnya untuk bertransaksi dimana saja yang bisa menerima jasa layanan gesek kartu kredit, selanjutnya nasabah yang melakukan transaksi di salah satu toko, tagihannya akan langsung ditagihkan oleh pengusaha toko tersebut kepada pihak bank. Dan selanjutnya bank yang akan menagihnya ke nasabah.
Kartu kredit konvensional pada umumnya mengenakan bunga untuk setiap kali transaksi. Namun dengan kartu kredit syariah tidak demikian.
Sementara itu, para pihak yang terlibat dalam penggunaan kartu kredit syariah pada dasarnya sama dengan kartu kredit konvensional. Mereka adalah penerbit kartu atau bank (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil al-bithaqah) atau nasabah serta penerima kartu (merchant, tajir atau qabil al-bithaqah).
Selain pihak-pihak yang terlibat, mekanisme transaksinya juga sama dengan kartu kredit konvensional. Termasuk juga prasarana yang digunakan juga tidak berbeda, yakni mesin EDC, ATM dan sebagainya. Yang membedakan dalam kartu kredit syariah adalah akad serta perjanjian yang disepakati. Yang sudah pasti akad tersebut terbebas dari riba atau bunga.
Dari pengalaman penulis selama ini, setidaknya ada 3 akad yang digunakan dalam kartu kredit syariah. Ketiga akad syariah itu pada umumnya adalah Kafalah, Qard dan Ijarah. Kita mulai dari Bank syariahnya terlebih dahulu. Dimana Bank Syariah yang menerbitkan kartu untuk diserahkan kepada pemegang kartu tentunya menjamin (kafil) semua transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu.
Bank juga menjamin atas semua kewajiban bayar yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu dengan pihak merchant. Termasuk juga transaksi tarik tunai yang dilakukan oleh pemegang kartu di bank yang berbeda dengang kartu yang diterbitkan oleh pihak bank. Nah dalam konteks tersebut akad kafalah yang digunakan. Sehingga pihak Bank dapat menerima fee (ujrah) dari pemegang kartu.
Selanjutnya akad Ijarah dapat digunakan dimana Bank sebagai penyedia jasa layanan sistem pembayaran dan pelayanan lainnya kepada pemegang kartu. Jasa layanan yang dikenakan oleh pihak bank ke pemegang kartu tersebut dikenakan membership fee. Dan semua feenya ini harus dijelaskan jumlahnya terlebih dahulu pada saat aplikasi kartu.
Sementara, untuk penarikan tunai melalui ATM bank penerbit kartu. Bank menggunakan akad qard. Dalam akad qard bank sebagai penerbit kartu bertindak selaku pemberi pinjaman (muqridh) kepada pemegang kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank penerbit kartu.
Oleh karena itu, pemegang kartu kredit syariah juga dikenakan annual membership fee untuk iuran tahunan akad ijarah. Dan dikenakan monthly membership fee atau iuran bulanan atas dasar akad kafalah. Jadi tidak ada bunga disitu, akadnya jelas. Masalahnya adalah kita yang awam akan kesulitan membedakan syariah dan yang tidak, jika hanya sekilas melihat kewajiban yang timbul dari penggunaan kartu kredit konvensional maupun yang syariah.
Perbedaan lain yang terdapat dalam kartu kredit syariah dan konvensional adalah pengenaan denda. Di mana denda keterlambatan yang dilakukan oleh pemegang kartu di bank konvensional akan dianggap sebagai pendapatan. Namun di Bank Syariah dianggap sebagai dana sosial.
Namun, ada beberapa hal yang perlu kita ketahui dalam penggunaan kartu kredit syariah. Di mana di awal saat kita melakukan pengajuan kartu kredit, kita itu diminta menggunakan transaksi tersebut sesuai dengan transaksi syariah. Artinya kita dituntut untuk tidak menggunakan transaksi tersebut membeli barang non halal atau dengan cara yang tidak halal.
Masalah lain yang perlu kita ketahui adalah, bahwa saat kita tarik tunai melalui merchant. Misalkan kita tarik tunai di toko penjual emas. Kita gesek kartu kredit syariah namun justru yang kita dapatkan adalah uang tunai. Bukan membeli barang yang ada di toko tersebut. Sementara toko menagih ke Bank penerbit dengan menunjukan struk jual beli barang.
Transaksi model seperti ini tidak jelas akadnya, dan zhalim. Ada baiknya pengguna kartu kredit syariah memahami secara menyeluruh sebelum menggunakan kartu kredit tersebut. Jangan sampai niat baik saat mengajukan karti kredit syariah, namun justru keliru dalam penggunaannya.
*Pengamat Ekonomi Milenial, Mahasiswa S3 Ekonomi Syariah UIN Sumatra Utara.