Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Semarang. Mengenakan atasan berwarna putih, umat Buddha Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, berbondong-bondong menuju Vihara Budha Bhumika. Sebab pada hari ini, Minggu (19/5/2019) merupakan puncak perayaan Waisak 2563 BE bagi umat Buddha dusun Thekelan.
Dusun yang berada di ketinggian 1.600 Mdpl itu dikenal sebagai rumah yang penuh sikap toleransi. Seperti yang tampak pada perayaan waisak kali ini, di luar vihara Budha Bhumika, masyarakat Thekelan yang beragama Kristen dan Islam berbaris untuk menyambut umat buddha seusai menjalankan upacara waisak.
"Sudah terjadi selama tiga tahun ini, tiap kali perayaan Waisak, umat muslim dan nasrani mengunjungi kami. Mereka datang untuk mengucapkan selamat sekaligus bersilaturahmi. Hal serupa juga terjadi ketika perayaan Natal dan Idul Fitri, ini adalah cara kami menjaga toleransi" jelas Mandar selaku Upacarika Vihara Budha Bhumika.
Ucapan permohonan maaf silih berganti terdengar diantara kehangatan suasana pagi itu. Masyarakat Thekelan saling berpelukan, air mata haru runtuh dari mata mereka, seolah menjadi cara membebaskan hati dari amarah dan rasa bersalah.
Seorang ibu rumah tangga bernama Paini, sesekali menyeka air mata dari pipinya. Sudah sejak pagi, seusai mencari rumput, ia berdiri di halaman Vihara Budha Bhumika. Hal itu ia lakukan untuk turut serta menyambut kerabatnya yang sedang melaksanakan upacara waisak di dalam vihara.
"Lega rasanya mas, kalau bisa memeluk saudara, mengucapkan selamat dan meminta maaf. Hati jadi plong, dan persaudaraan kami semakin kuat meski berbeda agama," terang Paini.
Dari keterangan Kepala Dusun Thekelan, Supriyo, aktivitas toleransi di Thekelan harus dilihat dari sudut pandang tradisi masyarakat setempat. Ia bersama 720 lebih masyarakat Dusun Thekelan sepakat, untuk teguh menjaga persaudaraan tanpa membeda-bedakan keyakinan.
"Tentu sudut pandang orang berbeda-beda, tetapi ya inilah Thekelan, rumah kami. Kami tidak memaksa masyarakat di luar menduplikasi yang terjadi disini, sebab belum tentu perbedaan itu mudah diterima. Namun jika kita sadar, hidup dalam perbedaan, maka tak ada pilihan lain selain saling menghargai," tandas Supriyo.(dtc)