Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Tren perkembangan ekonomi belakangan seakan memberikan gambaran buram akan masa depan kita. Di tahun 2018 silam, banyak negara yang mengalami krisis keuangan seiring dengan berkecamuknya perang dagang. Setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan perang terhadap sejumlah negara yang dinilai merugikan negaranya, salah satunya adalah Cina.
Menjelang akhi tahun 2018, perang dagang yang sempat terhenti oleh kesepakatan sementara antara AS- Cina, sempat membuat ekonomi global mengalami pemulihan. Sejumlah indeks saham membaik dan kinerja banyak mata uang negara lainnya mulai kembali mengalami pemulihan. Tetapi perang dagang yang sempat memanas di tahun 2018 membuat sejumlah negara masuk dalam kubangan krisis.
Turki, Venezuela, Argentina menjadi deretan negara yang mengalami gejolak ekonomi paling parah di tahun 2018. Bahkan Turki dan Argentina sama-sama mengalami masalah yang tidak jauh berbeda. Kedua negara ini mengalami defisit neraca kembar yakni selain mereka harus mengalami defisit neraca perdagangan, mereka juga berhadapan dengan neraca pembayaran karena memiliki porsi hutang ke Bank yang ada di AS.
Selanjutnya ada India yang di tahun 2018 direpotkan dengan defisit neraca perdagangannya yang melebar. Perang dagang di kedua negara besar tersebut mengakibatkan India kesulitan dalam memaksimalkan ekspor barangnya. Sementara itu, Afrika Selatan, Indonesia, Turki, Ukraina, Meksiko, Rusia, Brazil mengalami tekanan pada mata uangnya. Rupiah bahkan sempat menembus level 15 ribu di tahun 2018 lalu.
Selain pelemahan mata uang Rupiah, di Indonesia sejumlah harga komoditas unggulan Indonesia mengalami keterpurukan. Bahkan di Sumut harga sawit sempat menyentuh 500 hingga 700 per Kg, dibandingkan harga normalnya di kisaran Rp 1.200 hingga Rp 1.400 per Kg. Harga karet sempat terpuruk ke Rp 4.000-an per Kg, sebelum akhirnya kembali mampu diperdagangkan di kisaran Rp 7.000- an per Kg.
Pelemahan harga komoditas tersebut menyeret pada penurunan daya beli masyarakat di tanah air, laju pertumbuhan ekonomi sulit didongkrak, perbankan mengalami kesulitan dalam proses intermediasinya, industri tidak tumbuh signifikan, walaupun inflasi cenderung bisa dikendalikan.
Nah, seakan belum berakhir sampai disitu, perang dagang di tahun 2019 ini juga masih berlanjut. Dimana ada begitu banyak kompleksitas masalah global. Tiongkok di tahun 2019 ini justru melancarkan serangan balasan dengan menaikkan tarif impor yang sama seperti halnya dilakukan dengan AS. Kebijakan tersebut seakan mencuatkan keyakinan ke permukaan, bahwa perang dagang tidak akan berhenti sampai disini dan masih akan berlanjut untuk batas waktu yang belum bisa ditentukan.
Apa yang dilakukan oleh Cina dalam kebijakan moneternya justru membuat AS semakin kepanasan. Bayangkan di saat AS secara terang terangan memberlakukan kebijakan kenaikan tarif. Cina justru melakukan kebijakan moneter longgar dengan mencetak uang ke sistem ekonominya. Hal ini memicu terbentuknya suku bunga rendah di Cina , yang bermuara kepada pelemahan mata uang Yuan.
Ekonomi Cina yang seharusnya mengalami kontraksi akibat perang dagang tersebut, justru diatasi dengan memperbanyak stimulus bagi perekonomiannya dengan skema bunga murah. Alhasil, industri di Tiongkok tetap mampu bertahan hidup, dan pelemahan yuan justru mengakibatkan daya saing produk Cina di pasaran masih tetap unggul dibandingkan produk dari AS.
Kebijakan Cina tersebut memang tidak secara langsung menghantam kebijakan yang dilakukan oleh AS. Namun dengan kebijakan tersebut membuat AS sendiri tidak berhasil bagi negaranya. Hal ini tentunya memicu kemarahan AS yang pada akhirnya akan tetap memberlakukan kebijakan kenaikan tarifnya. Dan hasilnya Tiongkok sendiri justru melakukan upaya serupa yakni dengan menaikan tarif untuk barang-barang dari AS yang masuk ke Cina.
Ini adalah bentuk serangan balasan yang dilakukan oleh Cina . Hal ini sekaligus memicu terjadinya kekuatiran baru bagi negara lain. Di banyak negara, perang dagang yang tidak kunjung usai ini membuat negara yang memiliki hubungan dagang baik langsung maupun tidak langsung dengan negara yang tengah berperang, akan memperhitungkan kerugian yang mungkin timbul bagi negaranya sendiri.
Respon yang paling terasa akibat perang dagang ini akan banyak dijumpai di pasar keuangan global. Pelemahan kinerja indeks saham serta mata uang hingga komoditas, menjadi indikator yang paling mudah terlihat. Dan sayangnya sejumlah indikator tersebut saat ini menunjukan arah negatif. Dan membentuk sikap pesimis di antara pelaku pasar.
Selanjutnya perang dagang ini akan membuat banyak negara menyesuaikan ketidakseimbangan ekonominya. Dan kondisi tersebut akan diperparah dengan kemungkinan memburuknya fundamental ekonomi di negara masing-masing. Perang dagang yang berlanjut tersebut bukan hanya membuat perekonomian dunia mengalami guncangan.
Hal yang lebih buruk yang bisa terjadi adalah guncangan ekonomi tersebut memicu terjadinya guncangan sosial, aksi kekerasan, demonstrasi besar besaran, hingga bencana kemanusiaan ataupun bencana kelaparan. Kondisi ini sangat mungkin terjadi jika perang dagang ini justru diikuti dengan langkah serupa yang dilakukan oleh negara lainnya dalam bentuk proteksionis.
Hampir semua negara di dunia melihat ekspektasi buram perkembangan ekonomi negaranya ke depan. Bagi Indonesia, dampak yang diakibatkan perang dagang ini memang tidak akan sebesar negara lain, terlebih negara jiran tetangga Singapura. Namun kita perlu berhati-hati seandainya perang dagang tersebut tetap terjadi, dan lebih buruknya AS menjadikan Indonesia sebagai negara baru yang dijadikan musuh dagangnya.
Ada beberapa kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi jika perang dagang keduanya tetap berlanjut. Potensi penurunan investasi di tanah air, defisit neraca perdagangan yang melebar, pelemahan mata uang rupiah, penurunan harga komoditas unggulan, ekspor dan impor terpuruk, inflasi yang lebih sulit dikendalikan hingga laju pertumbuhan ekonomi yang tetap masuk dalam jebakan pertumbuhan 5% hingga potensi kemungkinan kenaikan harga BBM di tanah air.
Nah dampak yang akan dirasakan masyarakat kita adalah, pendapatan tidak mengalami kenaikan atau justru mengalami penurunan, daya beli anjlok, pengeluaran bertambah, kesempatan mencari pekerjaan mengecil, yang pada akhirnya akan bermuara kepada kesulitan kita dalam menekan jumlah angka kemiskinan ataupun pengangguran.
Begitulah gambaran buram perekonomian kita di masa yang akan datang jika perang dagang ini terus berlanjut. Dan upaya yang kita lakukan nantinya juga tidak akan secara instan mampu menyelesaikan masalah besar ekonomi negara kita.
Pemerintah akan berupaya untuk melakukan kebijakan untuk memperbaiki kondisi ekonomi dengan menjadikan konsumsi domestik menjadi tulang punggung perekonomian. Dan sayangnya kebijakan tersebut tidak serta merta menjadi solusi instan dalam proses penyelesaian masalah ekonomi makro kita nantinya. Tetap saja kita akan merasakan bagaimana hantaman ekonomi eksternal ini nantinya memperburuk ekonomi kita sebelum pada akhirnya tercipta sebuah keseimbangan baru.
Itulah gambaran buruk perekonomian kita kedepan, dengan satu kondisi yakni perang dagang masih berlanjut. Tetapi negara ini tidak akan bisa berputar roda ekonominya, jika pemimpinnya tidak mampu bersikap optimis.
*Pengamat Ekonomi, Alumni UGM Yogyakarta, bekerja sebagai dosen dan analis di salah satu perusahaan sekuritas di Kota Medan.