Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Riuhnya "desakan" para eksponen pelaku perjuangan reformasi pada era 1998 atau lebih dikenal sebagai aktivis '98 agar diikutkan masuk ke dalam pemerintahan Joko Widodo, memantik berbagai pihak berkomentar. Setelah Perhimpunan Aktivis 98 Sumatera Utara, kini giliran Direktur Eksekutif Lembaga Suluh Muda Indonesia, Kristian Redison Simarmata ikut bersuara.
Menurut Kristian, daripada para aktivis '98 "mengemis" agar diberi jatah masuk dalam kekuasaan (seperti, menjadi menteri), lebih baik mendesak Presiden Jokowi menuntaskan seluruh agenda reformasi yang hingga kini belum selesai.
Paparnya, dalam perhelatan Pilpres 2019 cukup banyak aktivis 98 terlibat dalam aksi atau gerakan dukung mendukung capres, baik 01 (Jokowi-Ma'ruf Amin) dan 02 (Prabowo-Sandi). Seyogianya dukungan yang diberikan merupakan benang merah dari penuntasan agenda reformasi di masa lampau yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Dukungan terhadap capres mestinya mewariskan api semangat dan pokok pikiran tentang kenapa harus menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Bukan mengumpulkan abu peristiwa reformasi dalam menjadi alat bargaining position guna mendapatkan pembagian kekuasaan.
Dengan kata lain, jelas Kristian, dukungan yang diberikan harus menjadi ujung tombak serta kekuatan yang mampu menuntaskan amanat dan cita-cita reformasi. Reformasi pada hakekatnya lahir dari kebobrokan sistem dan kebusukan pejabat birokrasi pada saat itu. Dimana praktek korupsi, kolusi dan nepotisme begitu kuat mencengkeram sendi-sendi kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Ketimpangan ekonomi sosial selaras dengan ketimpangan pembangunan pusat dan daerah. Penguasaan Sumber Daya Alam yang kemudian diliberalisasi dengan jargon pembangunanisme, hingga dikuasai segelintir orang tertentu yang berakibat banyaknya terjadi penggusuran dan kerusakan lingkungan.
Dari situlah kemudian muncul api reformasi dengan tujuan mendorong perubahan kondisi negara yang ketika itu kian terpuruk.
"Oleh sebab itu, lebih baik dan elok jika para aktivis mendesak presiden terpilih, yakni Jokowi, untuk menuntaskan agenda Reformasi 98 dalam bentuk program kerja dan kebijakan yang harus dilakukan untuk lima tahun kedepan, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk terlibat dalam pemerintahan," tegas Kristian kepada medanbisnisdaily.com, Minggu (23/6/2019).
Ujarnya, mengawal proses perbaikan akibat kerusakan masa lalu seharusnya menjadi prioritas utama, agar tidak meninggalkan beban sejarah bagi generasi berikutnya. Masih banyak yang harus di koreksi oleh aktivis, seperti belum selesainya agenda Reforma Agraria yang mengacu pada UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 yang jadi salah satu penyebab ketimpangan ekonomi.
Yang lainnya yang tak kalah serius, penuntasan kejahatan HAM masa lalu, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang masih menjadi tradisi, serta aemakin menguatnya tendensi SARA berbalut populisme dalam hajatan sosial politik.
"Kekuasaan itu penting, tetapi yang lebih penting adalah tugas menyelesaikan beban dan agenda perubahan yang tidak terselesaikan," katanya.
Sebelumnya, kiritik yang sama juga disampaikan Perhimpunan Aktivis 98 Sumatera Utara. Menurut ketuanya, Sahat Simatupang, tidak elok rasanya membuka wacana memberi ruang kekuasan di pemerintahan kepada aktivis 98 menjadi menteri dan lain-lain jika tragedi kemanusiaan tahun 1998 itu tidak dituntaskan.
"Keluarga mahasiwa dan warga korban penembakan rusuh 98 masih berlinang air mata, tapi sebagian aktivis yang dulu berjuang di jalanan sudah bicara kekuasaan mendompleng kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin," ujar Sahat, Sabtu (22/6/2019).
Aktivis 98, ujar Sahat, berharap Jokowi memutus kutukan tragedi 1998 agar tidak bernasib sama dengan tragedi 1965. Sebab 5 tahun memerintah di periode keduanya nanti bagi Jokowi tentu harus meninggalkan legacy agar kutukan tragedi 1998 tidak terimbas kepada generasi berikutnya.
"Ada puluhan orang tewas termasuk mahasiswa ditembak mati. Ada pula yang mengalami kekerasan dan pelecehan seksual tapi tidak seorang pun pelakunya diseret ke pengadilan, miris," ujar Sahat.