Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Pada zaman dahulu, sebuah transaksi itu selalu dilakukan dengan cara tunai. Seorang penjual dan pembeli bertatap muka secara langsung. Barang yang diperdagangkan juga langsung tersedia dengan wujud fisik yang siap dipertukarkan secara langsung. Seorang pedagang yang melakukan perdagangan ke wilayah lain (bahkan negara lain atau internasional ) harus menempuh perjalanan panjang untuk sampai di wilayah berkumpulnya pedagang dan pembeli.
Zaman Rasulullah SAW juga demikian. Beliau melakukan perjalanan panjang untuk memasarkan barang dagangannya ke wilayah lain. Dan sudah barang pasti, model transaksi internasional seperti itu mustahil ditemukan di zaman yang serba canggih seperti saat ini. Pada saat ini, seorang penjual tidak perlu datang ke negara si pembeli. Transaksi tidak bertatap muka secara langsung.
Model dan spesifikasi barang disampaikan melalui layanan digital. Fisik barang tidak bisa disentuh langsung dan baru akan dikirim dan diterima nantinya setelah kesepakatan transaksi di buat. Tentunya model pembayaran pun berubah. Dari yang sebelumnya banyak menggunakan model pembayaran secara tunai, saat ini dilakukan dengan cara transfer.
Sehingga jika ada pihak yang mengklaim model transaksi jual beli lintas wilayah atau negara seperti ini adalah haram, karena tidak ada di zaman Rasul (sunnah). Saya berpendapat, disarankan sebaiknya beliau untuk belajar lebih memahami lagi bagaimana zaman itu mengubah pola kehidupan manusia termasuk pola transaksinya.
Sehingga perubahan budaya (urf) ini seharusnya bisa diakomodasi sebagai rujukan dalam membangun pola transaksi syariah yang dibutuhkan masyarakat di era modern. Dan Alhamdulillah, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa terkait transaksi lindung nilai, yakni Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 96/DSN-MUI/IV/2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth al Islami/Islamic Hedging) atas Nilai Tukar.
Kalau ditulisan sebelumnya penulis hanya membicarakan transaksi SPOT, maka di tulisan kali ini penulis akan memulai untuk membedah model transaksi forward. Di mana kompleksitas dalam produk forward ini memang lebih rumit dibandingkan transaksi tunai seperti SPOT yang penyelesaiannya selama 2 hari kerja paling lama.
Namun ingat, ketentuan hukum dari transaksi jual beli mata uang ini adalah bahwa transaksi ini dilakukan karena kebutuhan nyata. Atau dalam implementasinya memang transaksi tersebut dilakukan untuk kebutuhan jual beli (ekspor impor).
Untuk memperjelas bagaimana transaksi hedging itu dibutuhkan. Saya akan mengambilnya dengan beberapa praktik di lapangan. Contoh sederhananya begini. Seorang importir katakanlah bernama A di Indonesia tengah bernegosiasi barang dan bersepakat membeli barang senilai $1.000.000 dari Cina. Barang tersebut akan dikirim dari Cina ke Indonesia memakan waktu sekitar 1 bulan lamanya.
A dan mitranya di Cina telah bersepakat (berakad) dengan melakukan perjanjian model transaksi pembayaran tertentu atau sejumlah persyaratan yang lainnya. Misalkan A menyepakati untuk membayar lunas nanti saat barang sudah diterima di pelabuhan Indonesia. Di mana pelunasan ini berarti sama dengan saat barang diterima atau sekitar 1 bulan yang akan datang. Untuk memenuhi kebutuhan pembayaran sebesar US$ 1 juta di satu bulan yang akan datang.
A melakukan transaksi beli mata uang (sharf) dengan skema forward agreement secara syariah. Transaksi pembelian mata uang tersebut dilakukan di bank syariah. Misal A membeli US $ 1 juta dengan jatuh tempo selama 1 bulan k edepan di bank syariah. Dengan begitu nanti di sebulan yang akan datang uang yang diterima A untuk membeli barang dari Cina terpenuhi.
Dalam bertransaksi lindung nilai tersebut, A sudah barang pasti saat melakukan forward akan terlindungi dari fluktuasi nilai tukar yang berpeluang terjadi di masa yang akan datang. Artinya kurs mata uang yang dibeli oleh A melalui forward agreement tidak mengalami perubahan. Misalkan A dan bank syariah sudah bersepakat, A membeli US dolar sebanyak US$ 1 juta di harga 14.300 pada tanggal 1 Maret.
Nah pada 1 April nanti A tetap membayar seharga di Rp 14.300. Walaupun di 1 April yang akan datang nilai tukar rupiah itu tidak sama dengan nilai tukar rupiah terhadap US dolar pada 1 Maret sebelumnya. Bisa jadi rupiah di 1 April akan sama dengan harganya di 1 Maret, bisa juga lebih rendah atau lebih mahal.
Apa yang menjadi keuntungan bagi si A, tentunya adalah adanya kepastian perencanaan pengeluaran hingga 1 bulan ke depan. Sehingga A tidak terganggu dengan kemungkinan-kemungkinan adanya potensi pelemahan mata uang rupiah yang bisa membuat kebutuhannya membengkak. Artinya A terlindungi dengan bertransaksi forward agreement tersebut.
Di sisi lainnya, lawan transaksi A di Cina akan merasa nyaman, karena A sudah melakukan transaksi beli US dolar untuk satu bulan yang akan datang. Sehingga ada jaminan bahwa pelunasan itu nantinya benar benar akan terlaksana tanpa mengalami hambatan serius.
Dalam konteks kemungkinan A melakukan tindakan tak terpuji dengan memanfaatkan transaksi forward untuk spekulasi atau untung-untungan. Memang potensi tersebut benar adanya. Tetapi bukan karena produknya (forward agreement) yang tidak sesuai dengan syariah. Akan tetapi karena perilaku manusianya itu sendiri.
Walau demikian, pada prakteknya bank syariah menjamin bahwa model transaksi forward tersebut akan benar-benar terlaksana sesuai dengan prinsip syariah. Bagi nasabah yang melakukan transaksi forward ada baiknya benar-benar mempelajari kaidah yang berlaku. Pastikan anda benar-benar mengikuti kaidah mekanisme transaksi yang dipersayaratkan oleh DSN MUI.
Dalam tulisan ini memang masih hanya memberikan kata pembuka dari transaksi lindung nilai itu sendiri. Belum membahas lebih dalam mengenai kaidah fikih dalam transaksi tersebut. Belum berbicara bagaimana pembentukan harga (swap poin) saat bertransaksi melalui mekanis forward agreement. Belum lagi berbicara mengenai landasan hukum yang membolehkan transaksi forward tersebut.
Mengingat harga mata uang yang ditransaksikan untuk kebutuhan di masa yang akan datang selalu menggunakan harga yang dihitung berdasarkan harga spot ditambah selisih suku bunga. Selama ini transaksi forward secara konvensional memang seperti itu. Nah bagaimana seandainya kalau transaksinya secara syariah.
Bagaimana cara menghitung swap poinnya. Mengingat transaksi jual beli mata uang Rupiah terhadap US Dolar itu tidak terlepas dari besaran suku bunga masing-masing. Terlebih lagi mata uang US dolar itu instrumennya berbasiskan bunga. Berbeda dengan rupiah, yang memiliki instrument syariah di Bank Indonesia, sehingga acuannya bisa lebih fleksibel.
Namun, penulis sudah berniat untuk menjabarkan itu semua ditambah dengan logika berpikir yang mendukung transaksi forward secara syariah. Kalau dari sisi kebutuhannya memang sudah terlihat jelas. Tetapi illat qiyasnya juga dibutuhkan untuk memperdalam pengetahuan dengan menyandingkannya melalui mekanisme transaksi yang rinci.
Dan dalam fatwa yang diterbitkan oleh DSN MUI maupun dalam ketentuan tertulis dari Bank Indonesia. Hanya menjabarkan hal-hal yang sifatnya umum. Tidak menjelaskan secara teknis, sehingga pembaca kerap belum mendapatkan pengetahuan yang komperhensif terkait dengan transaksi tersebut. Dan teknisnya itu akan sangat terlihat jika kita terjun langsung di lapangan.
Berarti kita harus juga melihat secara langsung transaksi itu dibuat. Inikan butuh waktu dan sangat mahal tentunya. Terlebih jika kita harus terlibat langsung menjadi pelaku ekspor impornya. Tetapi, beginilah mahalnya ilmu pengetahuan. Tetapi Insyaallah akan bagikan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
*Gunawan Benjamin, Pengamat Ekonomi, Mahasiswa S3 Ekonomi Syariah UIN Sumatera Utara.