Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Benarlah itu. Sudah berusia 429 tahun pada 1 Juli, hari ini. Bermula dari kampung pada 1590, lalu menjadi kota metropolitan. Jika pun ada yang “tak nyaman” adalah resultante dari masa silam. Tidak adil dibebankan di pundak Wali Kota Dzulmi Eldin seorang. Sebelumnya, sudah berderet nama wali kota lainnya.
Masa silam manis dikenang-kenang. Betapa dulu Medan dibangun oleh kaum eksportir dan tuan kebun di masa kolonial. Pajak dan devisa yang melimpah-ruah membuat Medan bisa dibangun dengan segenap infrastrukturnya.
Getirnya, pajak dan devisa yang mampu membangun Medan itu belum seberapa dibanding kekayaan alam yang diboyong kaum kolonial. Prestasi gemilang itu bahkan berpijak pada penderitaan buruh orderneming (perkebunan) yang penuh pengorbanan. Ratap tangis, siksaan dan bahkan jiwa pun melayang.
Jika ditafsir-tafsir, walaupun kolonial Belanda berpusat di Batavia (kini Jakarta), tetapi praktik otonomi daerah lebih konkret masa itu. Devisa dan pajak dari perkebunan di Tanah Deli, kala itu, mungkin lebih banyak yang digunakan untuk daerah ketimbang disetor ke Batavia.
Zaman bergulir. Kini pajak ekspor mengalir ke pusat. Di HUT ke-429 ini bolehlah memohon agar sebagian “menetes” ke daerah. Berjibun yang mesti dibenahi, misalnya infrastruktur tua peninggalan Belanda, seperti drainase, riol, sarana jalan, tata kota dan arus lalulintas, dan public utility (listrik, air minum). Tragisnya, kemampuan APBD Medan bak kata pepatah, “apa daya tangan tak sampai.”
Begitupun magnet Medan tetap memukau anak muda dari daerah datang untuk kuliah di perguruan tinggi. Juga pencari kerja di sektor modern-formal, maupun tradisional-informal, seperti pedagang kaki lima, sopir angkot dan becak bermotor.
Konfigurasi perumahan, hotel dan rumah toko tidak beraturan. Belum terlihat konsistensi mana zona ekonomi, pemukiman, perkantoran, industri, sekolah dan lainnya. Taman mestinya diperbanyak agar warga menghirup udara ruang terbuka.
Namun, betapapun diperlukan dana besar. Dana APBD 2019 yang Rp 6,1 triliun tidak memadai untuk membangun dan merehabilitasi total jalan yang rusak dan drainase yang tumpat serta belanja pembangunan lainnya.
Bandingkan dengan APBD Kota Bandung pada 2019 sebesar Rp7,3 triliun. Apalagi dengan APBD DKI Jakarta 2017 saja sudah mencapai Rp 70,191 triliun. Tak terkecuali APBD Kota Surabaya 2019 sebesar Rp 9,5 triliun.
Memang tidak arif jika semata mengkritik Pemko Medan atas segala problema perkotaan. Maksud hati “memeluk gunung,” apa daya dana APBD tak seberapa.
Sayangnya, pengelolaan dana APBD kurang maksimal. APBD 2018 misalnya mencatat sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) sebesar Rp 67,31 miliar. Seharusya bisa digunakan unuk memperbaiki jalan yang rusak, drainase yang masih bermasalah.
Termasuk trotoar yang ”miskin” seolah kota ini tabu bagi pejalan kaki. Padahal iring-iringan pejalan kaki sebagaimana di kota-kota mancanegara adalah pemandangan yang romantis.
Namun fenomena banjir tak bisa ditanggulangi Medan sendirian. Harus bersandelbahu dengan Binjai, Deliserdang dan Karo dengan konsep terpadu Mebidangro. Maklum, sungai yang mengalir ke Medan berhulu di Deliserdang dan Karo. Jika terjadi illegal logging, maka efeknya banjir pun melanda Medan.
Tujuh sungai yang membelah kota Medan adalah anugerah Ilahiat. Sayang sungai-sungai itu keruh dan perlu pengerukan. Tak lagi biru. Masih dibuangi sampah dan sejenisnya. Bahkan perumahan penduduk pun membelakangi rohmat Tuhan yang luar biasa itu.
Ah, saya selalu bermimpi kita kelak enjoy menikmati Medan dengan transportasi yang rapi, wajah kota yang hijau, air yang cukup, bebas macet dan bebas banjir serta menjadi pusat perdagangan yang berdaya saing secara nasional.