Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Setiap orang itu memiliki masa-masa tertentu, yakni masa berkibar-kibar, yang datang karena buah ikhtiar di waktu yang lalu. Namun ketika waktu beredar, era sukses itu berlalu, dan muncullah tokoh baru.
Barangkali, itulah yang dialami oleh Prabowo Subianto. Sudah empat kali – tiga kali menjadi Calon Presiden dan sekali menjadi Calon Wakil Presiden – namun belum kesampaian. Terakhir pada Pilpres 2019, dia dan Sandiaga Uno dikalahkan oleh duet Jokowi-Ma’ruf Amin.
Pada mulanya pada 2004, Prabowo mengikuti konvensi nasional Partai Golkar untuk menentukan Capres dari partai berlambang beringin itu. Namun konvensi dimenangkan Wiranto yang berpasangan dengan Salahuddin Wahid. Toh, akhirnya, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang keluar sebagai pemenang.
Pada 2008, Prabowo mendirikan Partai Gerindra sehingga dia mempunyai “kenderaan” sendiri menjadi Capres pada 2009. Dia maju sebagai Cawapres mendampingi Megawati sebagai Capres dari PDIP. Namun, Pilpres saat itu dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono
Pada Pilpres 2014, Prabowo menggandeng Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa yang . didukung oleh Partai Golkar, PKS dan PPP. Namun, lagi-lagi dia harus mengakui keunggulan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Saya kira sukses Prabowo terjadi saat dia berkarir sebagai militer. Setelah lulus dari Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang pada 1974, dua tahun kemudian, ia bergabung dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Angkatan Darat, yang membesarkan namanya. Ia menjadi komandan peleton para Komando Group-1.
Puncaknya ia menjadi orang nomor satu di Kopassus pada tahun 1996-1998. Karier militernya terus meningkat menjadi Panglima Kostrad pada 1998. Dia tidak lama di Kostrad karena situasi politik nasional, maraknya demonstrasi dan lengsernya Presiden Soeharto. Dia digeser menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI. Di sini pun dia hanya menjabat sebentar.
Setelah pensiun dari militer, Prabowo tinggal di Yordania dan Jerman. Di sana dia menekuni bisnis bersama adiknya, Hasyim. Setelah sekitar 7 tahun menekuni bisnis dan hilang dari hingar bingar Indonesia, ia kembali ke tanah air dengan tampil di publik.
Perjalanan politik serupa juga dialami oleh Megawati Soekarnoputri. Saya ingat, semasa hidupnya, Taufik Kiemas, tokoh senior PDIP yang menjadi Ketua MPR RI dan suami Megawati pernah mengeluh. “Orang nggak merasakan bagaimana jadi suami yang istrinya kalah tiga kali,” katanya suatu hari kepada pers di Jakarta pada 2012.
Maksudnya, istrinya, Megawati sudah tiga kali kalah dalam Pilpres 1999, 2004, dan 2009. Tapi toh masih banyak saja yang mendesak agar maju sebagai calon presiden (capres) 2014.
Mungkin, itulah sebabnya Taufik berharap Mega tak maju lagi dan memberi peluang bagi tokoh muda. Dan memang, Joko Widodo kemudian muncul berduet dengan Jusuf Kalla.
Agaknya sukses Mega berhasil menyelamatkan PDI dari penindasan rezim orde baru. Bahkan ketika berubah menjadi PDI Perjungan, PDIP memenangkan Pemilu 1999 dengan 33% suara, suatu angka yang cukup spektakuler. Mega pun menggantikan Gus Dur menjadi presiden yang dijatuhkan dalam Sidang Istimewa MPR pada 2001.
Sukses seorang tokoh adalah ketika dia bisa menemukan penggantinya. Soalnya, kreatifitas manusia terbatas, tapi perjalanan bangsa butuh dedikasi panjang generasi demi generasi. Pertanyaannya, siapa gerangan penerus Prabowo, dan Jokowi?