Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Rajin bertemu dengan sejumlah kalangan, Edy Ikhsan makin memantapkan diri untuk maju sebagai calon Wali Kota Medan pada Pilkada Serentak 2020. Ia lebih memilih menjadi kepala daerah untuk mengurusi warga kota dan memendam sementara keinginan mendapatkan gelar profesor.
Saat menjadi pembicara dalam diskusi publik dengan topik "Refleksi 429 Tahun Kota Medan. di aula Pusat Kegiatan Mahasiswa GMKI Cabang Medan, Rabu (3/7/2019), dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara ini blak-blakan soal alasannya lebih memilih menjadi wali kota daripada guru besar.
Didampingi anggota DPRD Sumatera Utara, Sutrisno Pangaribuan dan aktivis pengawasan anggaran dari Fitra Sumut, Rurita Ningrum, Edy (56) mengungkapkan tiga alasan pokok kenapa memutuskan ikut bertarung pada kontestasi perebutan jabatan Wali Kota Medan pada September 2020.
Katanya, sebuah harga mahal dipertaruhkannya atas keputusan tersebut. Dia harus melupakan perburuan gelar guru besar alias profesor yang merupakan cita-cita yang sudah diimpikan sejak lama.
Dari sebuah perguruan tinggi di Belanda, Edy meraih gelar doktor ilmu hukum. Sejengkal lagi sebutan "maha guru" direngkuhnya. Akan tetapi karena medan pertempuran lain yang dianggapnya lebih merangsang adrenalin, langkahnya pun berubah.
Selengkapnya, ini tiga alasan pokok Edy yang merupakan ayah dua anak memutuskan ingin menjadi Wali Kota Medan.
Pertama, melawan plutokrasi atau perebutan kekuasaan dengan mengandalkan kekayaan alias uang. Baginya, pertarungan merebut jabatan wali kota bukan sekadar election. Jauh lebih penting adalah sebuah "perang" terhadap plutokrasi yang tidak ada manfaatnya bagi rakyat.
Dia ingin membangunkan masyarakat yang selama ini tidur dan apatis, kecewa akibat kehilangan hak-hak dasarnya. Menyadarkan warga bahwa tidak ada gunanya mendukung plutokrasi.
"Saya ingin menguji tesis apakah orang miskin bisa memimpin. Aktivis tidak pernah mati, ada moralitas yang harus diperjuangkan," tegasnya.
Kedua, melakukan gerakan penyadaran. Dalam posisinya sebagai fondasi penguatan demokrasi, partai politik justru tidak menjalankan fungsi pendidikan politik. Parpol tidak berani memajukan kader berkualitas dan kapabel menjadi kepala daerah. Bukan dari luar.
"Seharusnya partai politik insyaf," ungkapnya.
Ketiga, Edy ingin hijrah dari dunia kampus yang sudah 30 tahun digelutinya. Baginya, ada sesuatu yang lebih menantang dan memacu aliran adrenalin. Yang lebih ganas dan buas. Yaitu pertarungan di dunia politik praktis menjadi kepala daerah.
"Saya ingin memberikan tangan dan hati kepada orang-orang yang hak-hak dasarnya tercerabut. Ingin mengakhiri hidup dengan berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat bagi banyak orang," terang Edy yang juga dikenal sebagai pegiat LSM.