Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Kenaikan harga BBM biasanya selalu mengikuti momen pelantikan presiden di periode baru. Sejak Presiden Abdurrahman Wahid hingga Joko Widodo (Jokowi), kenaikan harga BBM iringi momen pelantikan mereka.
Lantas setelah Presiden Jokowi dilantik lagi, apakah harga BBM akan naik juga?
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa tahun ini bisa saja BBM naik lagi. Ada 4 yang menurutnya membuat harga BBM di periode baru Jokowi bisa naik lagi.
Yang pertama, Bhima mengatakan, Jokowi butuh modal untuk janji kampanyenya membangun sumber daya manusia (SDM). Salah satunya adalah dengan memotong subsidi energi alias menaikkan harga BBM.
"Kalau periode kedua nanti Pak Jokowi mau fokus bangun SDM dan kekurangan dana, ya sangat mungkin akan dipangkas lagi subsidi BBM nya," kata Bhima, Kamis (4/7/2019).
Bhima juga mengatakan bahwa rasio pajak juga menjadi salah satu alasannya. Menurutnya penerimaan pajak makin sedikit. Untuk mempertahankan angka 11,5% di tahun 2020 sangat sulit.
"Faktor kedua, melihat skenario penerimaan pajak di periode kedua makin berat. Rasio pajak per 2018 hanya 11,5%, untuk bertahan di angka yang sama tahun 2020 akan berat sekali," kata Bhima.
Apalagi dengan adanya perang dagang dan lesunya perekonomian. Agar defisit APBN tidak melebar karena kurangnya pemasukan, bisa saja subsidi BBM dipotong.
"Ada perang dagang, harga komoditas yang turun, dan kinerja ekspor plus investasi asing loyo. Agar defisit APBN tidak melebar, cara paling praktis dan tidak kreatif ya potong subsidi," kata Bhima.
Poin berikutnya, menurut Bhima, beban keuangan BUMN energi terutama Pertamina sudah berat dan keuangannya pun tertekan. Untuk kurangi tekanan pada Pertamina bisa saja subsidi BBM dikurangi yang artinya harga BBM juga akan naik.
"Ketiga, beban keuangan BUMN yang diberi penugasan seperti Pertamina sudah terlalu berat. Akibatnya cashflow BUMN bisa tertekan, untuk hindari tekanan lebih besar, subsidi maupun penugasan di kurangi," kata Bhima.
Faktor terakhir, defisit neraca migas yang masih parah mendesak pemerintah menekan defisitnya. Menurut Bhima, bisa saja kalau harga BBM naik maka permintaan turun sehingga defisit menurun.
"Faktor keempat, defisit migas yang masih parah menembus angka US$ 3,7 miliar per Januari sampai Mei 2019 butuh langkah mendesak untuk tekan defisit migas. Secara teori kalau harga BBM subsidi naik maka permintaan akan turun dan defisit menurun," kata Bhima.
Sementara itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede memiliki pandangan yang berbeda dengan Bhima. Josua mengatakan justru pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM. Menurutnya, saat ini kondisi perekonomian global sedang lesu yang membuat komoditas minyak tidak tinggi harganya.
"Kalau kondisi saat ini kecenderungannya potensinya (naik) kecil ya, lagipula ekspektasi pelambatan ekonomi global, Bank Dunia samapai IMF juga pangkas proyeksi ekonomi global, tentunya ini akan batasi harga minyak dunia naik," kata Josua.
Menurut Josua harga minyak dunia menjadi faktor utama pembentukan harga minyak dalam negeri. "Karena pasar internasional kan jadi faktor utama ya pembentukan harga BBM di dalam negeri," kata Josua.
Lalu, pemerintah sendiri menurutnya tidak akan mengambil langkah yang membuat daya beli masyarakat turun. Pasalnya, menaikkan harga minyak sama saja memicu inflasi, kalau sudah inflasi maka daya beli masyarakat turun, pertumbuhan ekonomi pun akan melambat.
"Target inflasi juga kan harus dicapai, saya pikir pemerintah adjustment harganya tidak akan ada beban untuk naik. Nggak sinkron gitu kalau mereka mau ngejar target pertumbuhan dengan jaga daga beli masyarakat, bikin inflasi nggak stabil ya," kata Josua.(dtf)