Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Air mata Baiq Nuril seakan telah habis. Derita hukum yang dialaminya bertubi-tubi. Korban pelecehan seksual itu masih dibayangi hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Tapi tahukah Anda, sebenarnya rekaman yang dijadikan dasar menjerat Baiq Nuril sudah dinyatakan tidak valid oleh Mabes Polri?
Dalam catatan, Kamis (11/7/2019), Baiq Nuril dijerat karena merekam percakapan telepon antara dirinya dan Kepala SMAN di Mataram. Untuk menjerat Baiq Nuril, jaksa hanya menyodorkan CD yang diberikan si kepala sekolah.
Untuk menguji validitas rekaman itu, ketua majelis Albertus Usada dengan anggota Ranto Indra Karto dan Ferdinand M Leander meminta dilakukan forensik digital. Hasil pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa Digital Forensic pada Subdit IT & Cybercrime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri menyatakan bukti itu tidak valid.
"Berdasarkan validasi bukti digital elektronik sebagaimana Catatan Data Umum Hasil Pemeriksaan terhadap Barang Bukti Digital Nomor 220-XII-2016-CYBER yang terdiri dari 5 (lima) sub-barang bukti digital oleh Tim Pemeriksa Digital Forensik pada Subdit IT & Cybercrime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri dan Analisis Hasil Pemeriksaan terhadap 5 sub-barang bukti digital yang pada pokoknya telah diperoleh analisis, bahwa 'tidak ditemukan data-data terkait dengan maksud pemeriksaan' yaitu '... terkait dengan dugaan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan," kata Albertus Usada.
Dengan demikian, 5 barang bukti digital elektronik Nomor 220-XII-2015-CYBER a quo tidak dapat dijadikan dasar bagi penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan.
"Maka dihubungkan dengan validasi bukti digital elektronik a quo sebagaimana pertimbangan tersebut di atas, yaitu 'tidak ditemukan data-data terkait dengan maksud pemeriksaan, yaitu terkait dengan dugaan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan'," ujar majelis.
Validasi bukti digital elektronik (digital evidence) sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE menentukan bahwa bukti elektronik selain sebagai alat bukti surat dan alat bukti petunjuk, keduanya dianggap sebagai alat bukti baru di samping alat bukti yang telah ada menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur bahwa bukti elektronik dianggap sah apabila dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan seluruhnya.
"Bahwa berdasarkan pertimbangan validasi bukti digital elektronik terhadap hasil pemeriksaan terhadap barang bukti digital, maka majelis hakim menyimpulkan dan berpendapat bahwa transkripsi dan terjemahan audio berbahasa Sasak dari Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat Nomor 1485/G5.21/KP/2016 tanggal 17 November 2016 yang ditandatangani oleh Dr Syarifuddin, MHum, a quo bersumber dari bukti digital elektronik yang tidak dijamin keutuhannya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai alat bukti surat yang sah, maka harus dikesampingkan," majelis menerangkan.
PN Mataram menyatakan, berdasarkan segenap alasan dan pertimbangan a quo, majelis hakim menyatakan dakwaan penuntut umum a quo tidak dapat diterapkan (toegepast) terhadap diri terdakwa.
"Karena dakwaan Penuntut Umum a quo tidak dapat diterapkan (toegepast) terhadap diri terdakwa, maka kesalahan Terdakwa Baiq Nuril Maknun harus dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana didakwakan Penuntut Umum," kata Albertus dalam pertimbangannya.
Oleh sebab itu, PN Mataram membebaskan Baiq Nuril pada 12 Juni 2017. Namun fakta berubah. Majelis kasasi yang diketuai Sri Murwahyuni mengesampingkan digital evidence di atas dan menyatakan Baiq Nuril tetap bersalah dan dihukum 6 bulan penjara. Putusan kasasi itu dikuatkan di tingkat PK yang diketuai hakim agung Suhadi.
Atas hal itu, masyarakat kaget. Publik menilai putusan itu cacat keadilan. Sebab, secara utuh, Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual.
"Sekarang kita berikan ini, dengan pertimbangan kalau ini tidak kita lindungi, maka ada rasa keadilan masyarakat tercederai. Khususnya pada perempuan korban pelecehan atau kekerasan seksual yang tidak akan berani lagi ke depan menyampaikan kepada publik atau menuntut orang yang melakukan pelecehan karena ada kasus hukum mengatakan, 'Ini Nuril yang seharusnya korban menjadi dikorbankan.' Ini kita pertimbangkan, kita jaga betul, mengapa perlu menggunakan kewenangan konstitusional presiden, yaitu amnesti," kata Menkum HAM Yasonna Laoly.(dtc)