Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sejak tahun 2016, MUI telah mengeluarkan fatwa untuk membolehkan transaksi lindung nilai (hedging) secara syariah yang bernama forward agreement. Karena kata-katanya adalah agreement, berarti maknanya ini adalah kesepakatan atau perjanjian. Berbeda dengan pengetahuan penulis selama ini, saat menjadi pelaku dalam transaksi forward selama bekerja di bank.
Di mana kala itu penulis kerap mendapatkan order transaksi forward dari klien dan kerap istilahnya itu dikenal dengan forward transaction, dan bukan agreement. Jadi bukan hanya berjanji tetapi sudah masuk ranahnya adalah eksekusi atau transaksi. Dalam konteks forward agreement berjanji ini dikatakan belum disebut sebagai akad.
Sementara kalau transaction/transaksi ini merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak atau lebih yang dilaksanakan akadnya. Penulis menilai ada perbedaan terminologi yang pada akhirnya nanti akan membedakan teknis transaksinya tersebut. Pada dasarnya saling berjanji atau forward agreement (al muwa’adah) belum memunculkan hak dan kewajiban di antara masing-masing pihak yang bertransaksi.
Sementara dalam akad setiap pihak yang bertransaksi memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Merujuk pada Fatwa DSN-MUI, kalau berjanji dihukumi sebagai bukan akad, maka hal tersebut diperbolehkan karena menghindari jual-beli hutang dengan hutang.
Sebelum jauh membahas mengenai forward agreement, sebaiknya kita melihat bagaimana transaksi forward secara konvensional yang pernah terjadi selama ini. Berdasarkan pengalaman penulis, forward ini sangat bermanfaat bagi siapapun yang ingin terhindar dari risiko, baik itu penguatan ataupun pelemahan mata uang di masa yang akan datang.
Sebagai contoh, seorang importir yang akan membeli sebuah mesin di Cina membutuhkan 1 Juta US Dolar, yang harus disediakannya dalam kurun waktu 30 hari yang akan datang. Importir tersebut melakukan pembelian valas pada saat ini. Di mana kurs rupiah terhadap US dolar itu sebesar Rp 14.000. Sementara besaran swap poin untuk satu hari adalah sebesar 1 US dolar.
Katakanlah transaksi dilakukan pada tanggal 1, jadi saat Importir melakukan transaksi forward pembelian valas sebesar 1 juta US dolar untuk 1 bulan atau 30 hari adalah sebesar Rp 14.030. Artinya, kurs spot yang ada di pasar ditambah dengan swap poin selama 30 hari, maka besaran angkanya menjadi Rp 14.030. Ini hanya ilustrasi, kenyataan di lapangan besaran swap poin tidak mutlak seperti contoh tersebut.
Nah, katakanlah di 30 hari yang akan datang, kurs spot mata uang rupiah terhadap US dolar adalah 14.100. Maka importir tadi hanya membayar sebesar Rp 14.030. Nah hal yang sama juga berlaku seandainya 30 hari yang akan datang kurs spot rupiah terhadap US dolar adalah sebesar Rp 13.900. Maka importir tetap membayar sebesar Rp 14.030.
Di sinilah sebenarnya importir tadi dilindungi dengan fluktuasi mata uang yang bisa saja merugikan ataupun menguntungkan. Namun yang pasti Importir tadi mendapatkan kepastian perlindungan dari fluktuasi atau risiko yang bisa saja terjadi di masa yang akan datang. Hal yang sama juga berlaku pada eksportir.
Seandainya ada eksportir yang menjual barang dagangannya, namun uangnya baru akan diterima di 30 hari yang akan datang. Katakanlah ada eksportir sawit yang menjual sawit ke Amerika Serikat senilai 1 juta US dolar. Akan tetapi uangnya baru akan masuk 30 hari yang akan datang.
Seandainya mata uang rupiah saat ini berada di harga Rp 14.000 per US dolar. Dan eksportir tersebut melakukan penjualan US dolar miliknya sebesar Rp 14.030 untuk 30 hari. Maka hal yang sama berlaku, walaupun di 30 hari yang akan datang rupiahnya ke Rp 14.100 ataupun ke Rp 13.900 eksportir tadi tetap menjual US dolarnya di harga Rp 14.030.
Nah apa itu swap poin? Pada teknis transaksinya swap poin berupa harga yang diberikan selama proses perjanjian transaksi forward tersebut diberlakukan. Nah penghitunganya itu adalah dengan cara menghitung nilai suku bunga yang didapatkan (US dolar), dibagi dengan jumlah hari yang dibutuhkan. Cara perhitungannya juga sederhana.
Misalkan kurs spot rupiah terhadap US dolar adalah 14.000, besaran bunga US dolar yang ditetapkan adalah 3%. Berarti Rp 14.000 di kali 3% terus dibagi 365 hari. Akan dapat besaran angka swap poinnya. Akan tetapi pada saat teknis pelaksanannya, setiap lawan transaksi ini bisa melakukan negosiasi. Sehingga tidak mutlak 100% mengacu kepada hitung hitungan di atas.
Nah kalau transaksi forward itu tadi bentuknya seperti itu. Maka bagaimana teknis transaksi forward agreement yang dibolehkan oleh DSN MUI? Setidaknya ada dua pertanyaan besar penulis. Pertama penetapan illat hukumnya, dan yang kedua bagaimana menghitung besaran biaya seperti halnya swap poin tadi. Mengingat US dolar ini kan operasi moneternya menggunakan acuan bunga.
Berbeda dengan instrumen rupiah di Bank Indonesia yang juga memiliki instrument moneter berbasiskan syariah. Nah untuk masalah kebolehan forward agreement ini saya mengacu kepada penjelasan terkait dengan ketentuan dasar perbedaan antara akad dengan saling berjanji atau muwa’adah.
Akad dan muwa`adah (saling berjanji) dari sisi bentuknya memiliki kesamaan, yaitu pihak yang melakukannya sama (dilakukan oleh dua pihak atau lebih), dan dari sisi sifatnya juga memiliki kesamaan, yaitu mengikat (mulzim) untuk dilakukan.
Akan tetapi perbedaan antara keduanya bersifat mendasar; yaitu dalam muwa`adah belum muncul hak dan kewajiban, sedangkan dalam akad sudah muncul. Oleh karena itu disebut bahwa saling berjanji mirip dengan akad (al-muwa`adatu tusybih al-`aqd). Namun sejatinya kedua hal tersebut berbeda, saling berjanji bukanlah akad (wa laisa al-muwa`adatu `aqdan).
Nah terkait dengan swap poin, atau besaran biaya yang dikenakan dalam memegang asset yang diperjanjikan dalan kurun waktu tertentu. Tidak bisa dipungkiri bahwa transaksi hedging syariah tetap akan mengacu kepada besaran swap poin yang dihitung dengan metode bunga. Karena transaksi jual beli valas dengan cara hedging tadi lawannya (US dolar) menggunakan bunga sepenuhnya.
Seperti halnya dengan transaksi rupiah terhadap US dolar. US Dolar di mana instrument pembentukan harganya mengacu kepada besaran bunga jelas mutlak kita harus mengikutinya. Karena besaran harga yang idealnya dibentuk melalui bunga acuan. Akan tetapi bolehkah kita menggunakannya?
Saya berpendapat boleh. Karena ini hanya tolak ukur atau benchmark-nya saja. Artinya cara menghitung besaran harga jual ini kan bisa bebas. Misalkan seorang pedagang ayam bakar yang menanyakan berapa persen besar keuntungan pedagang sebelah yang menjual babi bakar. Dengan bermaksud untuk menjaga tingkat persaingan di level tertentu, sehingga besaran keuntungan dijaga mengikuti besaran keuntungan pedagang sebelah.
Atau seorang pedagang ayam bakar yang sudah memperhitungkan besaran biaya produksi plus operasional, dan menambahkan tingkat keuntungan sebesar 30%, sehingga didapatkan harga ayam bakar perpotongnya itu sebesar X rupiah. Ini kan cuman metode perhitungan, dan belum terjadi akad.
Jadi pada saat forward agreement menentukan besaran biaya, saya pikir metodenya boleh bisa darimana saja. Yang penting akadnya jelas, dan peruntukannya juga jelas. Fatwa terkait lindung nilai secara syariah boleh dilakukan dengan syarat dilakukan atas dasar kebutuhan nyata (tidak untuk untung-untungan/spekulasi/gharar) dan dilakukan melalui mekanisme forward agreement (saling berjanji) untuk melakukan pertukaran mata uang di masa yang akan datang.
Pada saat penerapannya, transaksi lindung nilai syariah ini sangat membantu dalam hal pengelolaan kebutuhan haji. Karena dengan transaksi seperti ini, kebutuhan dana haji itu lebih mudah dikelola dan memberikan kemaslahatan bagi ummat.