Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Harga cabai yang bertahan mahal di pasaran dipicu oleh seretnya pasokan dari sentra-sentra cabai di Sumatra Utara (Sumut), salah satunya dari Kabupaten Batubara. Petani mengakui, ada sejumlah desa penghasil cabai di Batubara yang tidak menanam cabai selama dua musim terakhir. Hal itu karena lahan cabai terserang hama yang disebabkan oleh penggunaan bibit tidak berlabel (bibit kampung).
"Karena lebih murah, masyarakat memakai bibit kampung. Padahal bibit tanpa label sangat rentan dengan hama. Jadinya lahan tertular semua makanya banyak yang memilih tidak menanam cabai," kata petani cabai di Desa Pematang Jering Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batubara, Suhendra, ketika dihubungi medanbisnisdaily.com, Rabu (17/7/2019).
Menurut Suhendra, hampir 80% petani cabai di desanya tak lagi menanam cabai selama setahun terakhir. Bahkan, daerah penghasil cabai yang berdekatan dengan desa mereka seperti Indrapura dan Tanjung Kubah juga tak lagi menanam cabai. Lahannya pun dibiarkan saja karena memang sudah penuh hama.
Selain itu, masa tanam yang tidak berjarak juga menambah masalah karena hama tidak hilang-hilang. Suhendra mengatakan, di daerahnya, petani menanam cabai hampir setiap bulan. Tidak memiliki kalender tanam. Itu juga yang membuat banyak petani memilih berhenti menanam cabai karena jika dipaksakan buahnya seperti kena rebus dan busuk. Selain itu, tanamannya tidak berkembang dan tetap pendek.
Sebenarnya penyuluh sudah bilang kalau menanam harus pakai aturan. Biasanya menanam hanya 2 kali dalam setahun. Misalnya menanam di bulan 1, panennya di bulan 4. Lalu lahan dibiarkan dulu untuk kemudian diolah dan nanti ditanam diakhir Bulan 10. Panen kedua biasanya bulan 12.
"Namun masyarakat kadang bebal karena merasa lahannya jadi tidak mau diatur. Sekarang sudah merasakan dampaknya. Karena pasti gagal panen," kata Suhendra.
Terkait bibit kampung yang digunakan masyarakat, memang lebih murah. Paling Rp 25.000/kg. Sementara bibit berlabel sekitar Rp 125.000/bungkus. Jumlahnya sekitar 1.700-1.800 biji. Untuk 4 rante dibutuhkan 2 bungkus. Jadi memang jauh lebih mahal dibandingkan bibit kampung.
Tentu dengan tidak menanam cabai, pendapatan petani juga berkurang karena lahannya dibiarkan saja kosong. Tapi dikatakan Suhendra, tahun depan rencananya lahan-lahan yang terserang hama tersebut akan dibongkar. Diharapkan setelah itu, bisa kembali ditanami cabai.
"Tapi kita berharap pemerintah bisa membuat kalender tanam. Karena itu sangat membantu untuk menjaga harga cabai di petani. Dengan begitu, petani tidak lagi menanam sesuka hatinya. Tentu dengan kalender tanam, lahan juga bisa terhindar dari serangan hama," katanya.
Kepala UPTD Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatra Utara, Marino, mengatakan, stok cabai memang Masih karena panen sedikit di daerah penghasil cabai. "Sumut biasanya bisa panen 3.000 hingga 3.300 hektare/bulan. Tapi jumlah tersebut menurun dan kini hanya sekitar 1.800 hektare," katanya.
Untuk bulan Juni lalu, panen cabai Sumut hanya berasal dari Karo, Asahan, Batubara dan Simalungun. Daerah-daerah tersebut merupakan sentra cabai di Sumut. Tapi jumlahnya sedikit dan diharapkan panen di bulan berikutnya bisa normal kembali dikisaran 3.000-an hektare.