Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Mengapa Pilkada yang demokratis, tapi tak sedikit menghasilkan kepala daerah yang korup? He-he, bagaikan induk ayam beranak itik?
Meski dengan data-data yang berbeda, Indonesian Corruption Watch (ICW) pernah menyebut, dalam kurun waktu 14 tahun (2004-2018), ada 104 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.
Tapi, Menteri Dalam Negeri ketika djabat oleh Gamawan Fauzi pernah mengatakan bahwa ada 158 kepala daerah, gubernur, bupati dan walikota pada kurun 2004-2011, yang menjadi tersangka korupsi.
Syahdan, penyebabnya karena biaya yang dikeluarkan seorang calon sangat besar. Kira-kira berkisar Rp 30 miliar hingga Rp 100 miliar. Tak heran saat terpilih, dia pun menempuh berbagai cara agar modalnya kembali.
Astaga, inilah sebuah bumerang, ketika rakyat tergoda oleh jebakan money politics, ketimbang memilih pemimpin yang bersih dan ideal. Fenomena ini menunjukkan bahwa peristiwa demokrasi telah dianggap bagai kenduri dan pasar perburuan rente. .
Saya kira perubahan menuju Indonesia yang bersih harus dipelopori oleh rakyat. Tolak segala godaan money politics dalam proses pemilihan pemimpin di eksekutif dan legislatif. Yang pernah bernoda korupsi, jangan pilih lagi. Pentas politik harus steril dari “para maling” itu.
Tema besar itu harus dikobarkan, apalagi Pilkada serempak 2020 akan berlangsung, termasuk di Sumatera Utara.
Dilema Demokrasi
Jika rakyat tidak mau berubah, karena ketagihan “menikmati” money politics, saya teringat sastrawan Bertold Brecht, yang berkata bahwa jika rakyat bersalah, maka rakyatlah yang harus diganti. He-he, tapi bagaimana caranya? Inilah sinisme yang menertawai diri sendiri.
Buktinya, Bupati Kudus Muhammad Tamzil sudah pernah terjerat korupsi, namun tetap dipilih rakyat sebagai bupati hingga akhirnya kembali terjerat kasus korupsi. Dia terkena operasi tangkap tangkap (OTT) pada 26 Juli lalu.
Bahkan, ada calon independen yang tidak mengeluarkan “biaya perahu”, karena tanpa parpol pendukung, toh terjerat kasus korupsi. Padahal tidak mempunyai utang budi kepada parpol. Mestinya bisa bekerja secara benar dan jujur tanpa ada “tekanan” dari oknum politikus untuk pesekongkolan proyek pembangunan.
Contohnya, OK Arya, mantan Bupati Batubara dua periode (2008-2013 dan 2013-2018), toh terlibat kasus korupsi karena menerima gratifikasi dari rekanan dalam pengerjaan sejumlah proyek di Kabupaten Batubara sebesar Rp 8 miliar.
Dia divonis dengan hukuman penjara selama 5 tahun 6 bulan pada 26 April 2018. Tapi mengapa calon independen itu tersandung juga? Apakah karena iklim dan praktik suap menyuap sudah tren? Ibaratnya jika masuk ke kandang kambing, ya, harus membehek.
Memang, jika demokrasi hanya menelorkan pemimpin yang tidak kompoten dan tidak berintegritas, inilah dilema dermokrasi.
Di sinilah pentingnya pendidikan politik yang berkualitas. Tanpa kesadaran politik, masyarakat hanya menjadi objek perebutan suara, dan lalu dilupakan.
Lalu, terpilihlah pemimpin yang hanya ingin merebut kekuasaan. Sebaliknya, jika pemilih memiliki pendidikan politik yang baik, maka dia akan selektif dalam memilih pemimpin.