Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdail.com-Samosir. Kesedihan melanda pasangan suami istri, Efriando Limbong (27) dan Safrita Sinaga (27). Bayi mereka pertama yang masih di dalam kandungan akhirnya meninggal karena bidan tidak mau merujuk Safrita Sinaga yang saat itu mau melahirkan dan dalam kondisi kesakitan, ke rumah sakit. Sementara, sang bidan mengaku apa yang dilakukannya sudah sesuai standar operasi pelayanan.
"Padahal kami sudah minta berobat ke rumah sakit, tetapi tidak diizinkan pergi oleh Bidan Desa, Sariaty Sitinjak," kata Safrita Sinaga, didampingi suaminya Efriando Limbong ketika ditemui wartawan di rumahnya di Desa Sipitu Dai, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir, Selasa (6/8/2019) sore.
Kata Efriando, peristiwa itu terjadi pada 23 Juli 2019. Saat itu istrinya hendak melahirkan pada Selasa dinihari. Mereka menghubungi bidan tersebut melalui telepon seluler pukul 02.40 WIB. Selanjutnya, istrinya ke rumah Bidan Desa Sarianty boru Sitinjak di Desa Sari Marrihit, Samosir. Tiba pukul 03.00 WIB dan ditangani bidan, kemudian dianjurkan tidur di rumahnya hingga pukul 06.00 WIB.
Tidak ada tanda-tanda akan melahirkan hingga pukul 06.00 WIB. Bidan Sariaty menganjurkan mereka pulang ke rumah dan diminta datang kembali pukul 09.00 WIB ke Puskemas Limbong.
"Ketika diperiksa di Puskesmas sekitar pukul 09.00 Wib, hasilnya 'Buka 9'. Setelah pemeriksaan, bidannya bilang buka 7-8. Lalu mereka rapat, dan kami dibiarkan menunggu," ujarnya.
Disebutnya lagi, di antara pukul 09.00-12.00 WIB, tidak ada tindakan. Keluarga menunggu petunjuk bidan di Puskesmas. "Dari pukul 12.00-18.00 WIB, disuruh pergerakan (badan). Setelah pukul 18.00 WIB, aku lemas dan saya laporkan 'aku tidak sanggup lagi',"tutur Safrita.
Kata Safrita, dia lebih dari dua kali meminta agar dirujuk saja ke Rumah Sakit Umum dr Hadrianus Sinaga di Pangururan, karena tak tahan mengerang kesakitan. Hal itu dibenarkan ibu kandung Safrita, Dormauli Malau (52), yang ikut mendampinginya ke Puskesmas.
"Dua hali huppangido, (dua kali kuminta) biar segera dirujuk. Pailahon do hamu Inanguda, boi do i son normal. I san pe normal. I son pe boi do normal. Bah molo lao hamu, bah dang dohot ahu mangihuthon hamu.(Kalian memalukan saja. Kalau di sana (RSUD) Pangururan bida persalinan normal, di sini juga bisa normal, " kata Dormauli menirukan ucapan si bidan.
Tidak tahu berbuat lebih banyak serta kalut melihat putrinya, Dormauli pun membujuk Safrita agar dapat menahan kesakitan. Dan ternyata, pukul 21.00 WIB, Safrita pun mengalami pendarahan, dan pemeriksaan bidan menyatakan pintu rahim sudah buka 9.
"Tapi hingga pukul 18.00 WIB, kami minta rujukan, tak juga dikasih," tuturnya.
Melihat Safrita pendarahan, sambung Dormauli, barulah Safrita dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah dr Hadrianus Pangururan. "Setelah dilihat darah buka 9, barulah dianjurkan ke Pangururan. Kalau itu yang terbaik, kami bawa. Kami bilang gitu, lalu kami dibawa pakai mobil ambulans ke Pangururan,"tambahnya.
Safrita menceritakan, beberapa kali rahim hingga pintu kelahiran bayinya ditangani lebih dari satu bidan. "Pas dipegang perutku, dipaksa ngedan, (odon) terus keluarlah darah. Aku juga kasih tau ke bidan, kalau bayiku tak bergerak lagi. Tapi katanya masih berdasarkan alatnya, padahal sudah tak bergerak lagi,"jelasnya.
Tiba di RSUD Pangururan, Safrita langdung ditangani dr Tonny Simarmata. Setelah diperiksa, pendarahan disebutkan akibat luka jalan rahim, bukan pendarahan aktif seperti disampaikan bidan desa.
Efriando Limbong menambahkan, berdasarkan pengecekan dokter Tonny, disebutkan bahwa denyut jantung bayi tidak ada lagi sejak dua jam sebelum tiba di rumah sakit.
"Ini tak terselamatkan lagi bayinya, sudah dua jam lalu meninggal," kata Efriando Limbong menirukan ucapan dr Tonny.
Padahal, katanya, mereka sudah meminta sejak siang hari agar dirujuk, tetapi ditahan sampai pukul 21.00 WIB. Mengetahui janin tak bernyawa lagi disebut Efriando, bidan bersangkutan hanya bisa diam.
"Dokter Tonny juga sempat menanyai mereka (bidan), bagaimana penanganan mereka dan mereka diam," imbuhnya.
Efriando menambahkan, selama ini selain rajin menjalani pemeriksaan di Puskesmas Limbong juga mereka sering check up kepada dr Tonny. Dan selama ini tidak ada masalah kandungan.
Bidan Sariaty Sitinjak mengakui menangani Safrita Sinaga. "Si pasien datang pukul 03.00 WIB, kami pun kolaborasi dengan pasien. Pembuka pintu rahim saat itu buka satu sampai dua," jelasnya.
Disinggung kenapa menahan pasien yang meminta dirujuk, Sariaty beralasan tidak ada indikasi yang tepat menganjurkan pasien untuk dirujuk. "Kalau kau ke rumah sakit, indikasinya rumah sakit apa? Saya bekerja sesuai prosedur pak," jawab Sariaty.
Menurut Sariaty, sesuai diagnosanya, karena hamil anak pertama, maka terjadi pendarahan aktif. Sariaty juga membantah adanya luka jalur rahim, meski seperti dikatakan doktet Tonny seperti disampaikan keluarga Safrita telah terjadi luka jalur rahim.
"Saya tidak berbohong, saya Kristen. Masih berdenyut. Kadang-kadang pemeriksaan dokter dengan kita berbeda,"tuturnya lagi.
Disinggung kembali terkait permintaan pasien ingin dirujuk, dia menyebut pasien hanya satu kali memohon. Tambahnya lagi, dia harus melalui penanganan berdasarkan tahapan dan ketentuan, meski pasien mengerang kesakitan.
Kepala Puskesmas Limbong, drg Rawati Simarmata, mengatakan, saat kejadian dirinya tidak di Puskesmas. Ia mengklaim penanganan bidan kepada pasein telah sesuai SOP.
"Kita bilang itu, kehendak Tuhan, karena sudah tiga orang bidan senior di Puskesmas Limbong yang menangani proses persalinannya," ujarnya.