Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Masih panasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China disebut menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan investasi ke Indonesia.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menjelaskan, ketegangan kedua negara besar itu berdampak pada investasi Indonesia kuartal II 2019. Dia menyebut, indikator investasi yang terlihat dari Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) di kuartal II tahun ini hanya tumbuh 5,01% lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 5,85%.
"Memang tumbuh 5,01%, kemarin sektor swasta hanya tumbuh 3,07%, separuhnya jadi tantangan kita," kata Dody di Gedung BI, Jakarta, Senin (12/8/2019).
Dia mengungkapkan, rendahnya investasi ini juga terjadi karena permintaan global yang sedang lemah akibat gejolak ekonomi global. Hal ini juga terjadi karena ekspor Indonesia tak mampu mendorong perekonomian kuartal II.
"Jadi (ini) masalah di semua negara emerging market yang terkena dampak trade war, dampak voltalitas di pasar keuangan, serta melambatnya turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia di ekspor. Ini dialami di banyak negara emerging market termasuk Indonesia," jelas Dody.
Dody menyebutkan perlambatan ekspor juga berdampak pada berkurangnya permintaan produksi, otomatis investasi akan berkurang. Ujung-ujungnya, pendapatan devisa ekspor juga turut melorot. "Kondisi ini menurunkan pendapatan yang berakhir kepada konsumsi yang tidak akan setinggi dari yang diperkirakan," ucap dia.
Permintaan domestik juga mengalami hal serupa karena kondisinya tak bisa lepas terhadap ekspor. Ke depannya, Dody berharap dorongan investasi tak hanya melalui kebijakan (policy). Antisipasi pertumbuhan ekonomi global yang potensinya mengalami penurunan perlu dilakukan. Bank sentral punya solusi memperkuat sektor manufaktur unggulan, di antaranya tekstil, otomotif, dan alas kaki.
"Artinya semua negara akan tumbuh dan akan lebih baik dari tahun sebelumnya, cuma tidak optimal seperti yang seharusnya. Itu yang tercermin dari outlook pertumbuhan dunia dikoreksi ke bawah ke 3,2%" jelas Dody.(dtf)