Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Profesor hukum tata negara sekaligus politikus Yusril Ihza Mahendra setuju dengan wacana menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Konsekuensi dihidupkannya GBHN adalah presiden harus mempertanggungjawabkan hasil kerjanya ke MPR.
"Saya berpendapat GBHN itu adalah sesuatu yang diperlukan bagi bangsa dan negara ini agar arah pembangunan dan perjalanan bangsa selama lima tahun ke depan betul-betul merupakan kesepakatan seluruh warga bangsa yang diputuskan oleh MPR," kata Yusril kepada wartawan, Sabtu (17/8/2019).
GBHN adalah panduan arah pembangunan yang harus dijalankan Presiden. GBHN ditetapkan oleh MPR, bukan pihak eksekutif pemerintahan. Namun bila GBHN dihidupkan, MPR harus kembali seperti dulu lagi, bukan MPR seperti yang sekarang ada.
"Namun MPR yang dimaksud tentulah bukan MPR seperti sekarang sebagaimana dihasilkan oleh amendemen UUD 1945. MPR-nya haruslah merupakan 'penjelmaan seluruh rakyat Indonesia' yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan daerah-daerah dan golongan-golongan," kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini.
Menurut kacamata Yusril, MPR versi lawas itu justru lebih sesuai dengan tujuan negara (staatsidea) Bangsa Indonesia yang didasarkan kepada hukum adat dan ajaran Islam. Konsekuensi dihidupkannya kembali GBHN adalah MPR perlu kembali menjadi versi terdahulu, yakni lembaga tertinggi sebagai tempat presiden mempertanggungjawabkan hasil kerjanya.
"Kalau sudah demikian keadaannya, maka kembali harus bertanggungjawab kepada MPR, bukan seperti sekarang, Presiden tidak jelas bertanggungjawab kepada siapa," kata Yusril.
MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah tidak ada sejak presiden dipilih langsung oleh rakyat, yakni sejak 2004. Pada saat itu, presiden hanya bertanggung jawab kepada rakyat dan tak lagi menjadi mandataris MPR.
"Kalau dikatakan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilihnya secara langsung, maka bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya? Bagi saya itu tidak jelas mekanismenya," kata Yusril.
Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ini berpandangan, bila GBHN dihidupkan lagi maka MPR perlu menjadi lembaga tertinggi negara. "Konsekuensinya memang demikian. Saya berpendapat, penempatan posisi MPR seperti itu lebih mencerminkan ide bernegara bangsa Indonesia yang dilatar belakangi adat dan Islam," kata Yusril.
"Saya justru berpendapat apa yang dihasilkan amendemen sejauh mengenai perubahan posisi MPR justru adalah sebuah kemunduran. Cara berpikir para anggota BPUPKI jauh lebih canggih dibanding para anggota MPR yang mengamandemen UUD '45 itu," kata Yusril.(dtc)