Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Aduhai, sejarah Indonesia tak pernah sepi dari kisah korupsi. Saya baca novel “Senja di Jakarta” karya Mochtar Lubis yang melukiskan para menteri kabinet orde lama dari partai politik pada 1950-an menjual lisensi ekspor ke para pengusaha untuk dana Pemilu, saat Soekarno menjadi presiden.
Bahkan, korupsi kian seru di era Soeharto. KKN meraja lela, sehingga muncullah Ketetapan MPR tentang Negara Yang Bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pada 1998.
Berbeda dengan era Kebangkitan Nasional hingga kemerdekaan (1908-1945), yang nihil kisah korupsi. Maklum, Belanda masih berkuasa. Bahkan, walaupun kita sudah merdeka pada 1945, kisah korupsi masih senyap karena para pemimpin dan rakyat sedang menghadapi revolusi pisik hingga 1950.
Namun, ketika kekuasaan sudah digenggam, sejak 1950 hingga era reformasi, bermulalah abused of power. Kekuasaan untuk mensejahterakan rakyat telah tercebur ke jurang korupsi. Orang-orang berlomba-lomba masuk partai politik, sebuah “jembatan” menuju kekuasaan.
Jika kekuasaan sudah diraih, baik di eksekutif, legislatif dan judikatif, peluang untuk memburu rente pun terentang lebar. Tentu saja bukan generalisasi total. Tapi fenomena korupsi memang sudah mecemaskan.
Genesis parpol sebagai instrumen demokrasi telah dinodai, yang di awal abad ke 20 sangat wangi dalam sejarah. Dikaji secara historis, mungkin karena kita sudah tidak punya musuh bersama lagi, seperti saya tulis kemarin. Kolonial Belanda dan fasis Jepang sudah pergi. Tetapi bukankah korupsi bisa dijadikan musuh bersama?
Repotnya, memerangi korupsi bagai memerangi diri sendiri. Inilah bumerang kekuasaan yang memangsa tuannya. Soalnya, dengan satu anggukan kepala dan tanda tangan persetujuan, duit bergepok-gepok mengalir ke kantong.
Benarlah, Lord Acton ketika dia berkata, bahwa Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Memang, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indoneia pada 2018, menurut Transparency International Indonesia (TII) mengalami kenaikan dari 37 pada 2017 menjadi 38. Rentang skor adalah 0 – 100. Jika skor semakin besar berarti semakin bersih dari korupsi.
Indonesia masih kalah dari Singapura di angka 85, Brunei 63, dan Malaysia tetap 47 poin. Peringkat teratas ditempati Denmark dengan skor 88 dan Selandia Baru 87 poin.
He-he, kita belum boleh membusung dada. Perkara korupsi, kita masih malu.