Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ah, saya sudah lupa apa gerangan judul film itu, Saudara! Tetapi film barat itu pernah beberapa waktu silam ditayangkan oleh sebuah televisi partikelir berkali-kali. Mungkin, karena cocok dengan iklim sosial politik dan kebudayaan kita, kemudian ditayangkan berulang-kali.
Syahdan, film itu berkisah tentang seorang pria tampan yang menculik seorang perawan, anak orang kaya. Si pemuda meminta tebusan tak terkira-kira. Singkat cerita, uang tebusan disepakati akan diberikan. Tetapi apa lacur yang terjadi?
Eeh, malah si perawan jelita ini tidak mau dibebaskan. Si gadis bahkan tidak hanya menyenangi penculik itu, bahkan mulai mencintainya.
Si pemuda itu justru sangat simpatik. Borgol yang semula mengerangkeng kedua tangan si gadis telah dilepaskan. Persepsi perawan itu terhadap seorang penculik mulai bergeser.
Ah, pembaca. Kedua insan muda itu kemudian saling jatuh cinta. Inilah, sebuah teori yang dalam psikologi disebut Sindrom Stockholm.
Sementara itu di dunia realitas, banyak warga yang apatis dan skeptis memandang pemilihan kepala kaerah (Pilkada) bupati dan wali kota, termasuk di kota ini pada 2020.
“Sudahlah, siapapun yang terpilih tidak akan mengubah daerah ini, apalagi nasibku,” kata seorang warga.
Suatu hari, seorang kandidat telah mengundang penduduk berbagai kampung untuk bersilaturrahmi, secara bergiliran. Nah, sosok sang kandidat tampil simpatik, mamikat, baik hati dan budi.
Tutur kata pun lemah lembut. Bahkan jika ada bocah yang digendong seorang ibu, sang calon akan mengusap kepalanya. “Kalau besar nanti jadi apa?” katanya.
Dia pun “berbusa-busa” akan membangun daerah. Banjir yang menggenangi kota dan kemacetan lalulintas akan diatasi. Urusan rakyat dipermudah, tanpa pungli. Dunia usaha akan diperjuangkan, termasuk UMKM. Juga akan membangun jalan yang berlubang-lubang dan parit yang tumpat.
Penampilan fisik itulah yang membuat warga tertarik. Masing-masing bertekad akan memilih si kandidat dalam Pilkada.
Eh, setelah si kandidat terpilih, ternyata dia kembali kepada kepribadiannya yang asli. Lupa kacang di kulitnya, bahkan perlahan-lahan mulai memperkaya diri.
Gara-gara “kebaikan yang palsu” itu, warga telah tertipu. Banyak yang kecewa.
Banyak warga yang terjebak dengan kebaikbudian yang hanya sesaat itu. Kulit belaka, tidak dari hati, dan tak menjelma dalam pelaksanaan program kerja.
Bedanya, jika yang pertama happy ending. Yang kedua berakhir tragis.