Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Logika pak Emil Salim, mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup era Presiden Soeharto, meencerahkan juga. Dia menolak rencana Presiden Joko Widodo akan memindahkan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan.
Emil menilai berbagai alasan kepindahan yang selama ini dikemukakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tidak dapat diterima.
“Kalau Jakarta rusak, ya perbaiki,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini dalam diskusi publik bersama Institute for Development of Economic and Finance atau Indef di ITS Tower, Jakarta Selatan, Jumat, 23 Agustus 2019.
Memang, dalam paper mengenai pemindahan ibu kota, Bappenas menyebutkan sejumlah alasan pemindahan ibu kota. Di antaranya, karena Jawa dilanda krisis ketersediaan air bersih, ancaman gempa, rawan banjir, dan kondisi tanah yang turun.
Kondisi ini, menurut Emil, justru menjadi tantangan bagi Jokowi menyelesaikan masalah tersebut..
Sebelumnya, dalam Dialog Pemindahan Ibu Kota Negara pada 16 Mei 2019, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro telah membeberkan alasan lain mengapa ibu kota harus dipindahkan. Pertama, konsentrasi penduduk yang sudah terlalu tinggi di Pulau Jawa. Mencapai 57% dari penduduk Indonesia.
Kedua, kegiatan perekonomian masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan share Pendapatan Domestik Regional Bruto atau PBRD mencapai 58,49%. Sementara, share PDRB khusus Jabodetabek mencapai 20,85% dari PDB nasional. Lalu, pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa mencapai 5,6% dibandingkan luar Jawa sebesar 4,7%.
Tapi bagi Emil, anggaran untuk pemindahan ibu kota sebesar Rp 466 triliun itu sebenarnya bisa digunakan untuk membiayai perbaikan yang diperlukan di Jakarta atau Pulau Jawa.
Ketika ibu kota dipindahkan, Emil mempertanyakan bagaimana kelanjutan penanganan dari masalah yang terjadi di Jakarta dan Pulau Jawa tersebut. “Jadi saya merasa ini tidak bertanggung jawab, kalau tahu ada angin taufan pecahkan masalahnya, bukan lari dari persoalan,” kata dia.
Sesungguhnya intervensi pemerintah pusat terhadap pembenahan Jakarta pernah ditunjukkan oleh Presiden Soekarno pada 1960-an. Misalnya, pembangunan Jalan Thamrin dan Sudirman. Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, Mesjid Istiqlal, tugu Monas hingga Gelora Bung Karno Senayan Jakarta.
Bahkan, dampak pemindahan itu terhadap kinerja perekonomian, juga disoal oleh Institute for Development of Economic and Finance atau Indef yang telah melakukan riset. Hasilnya, Indef menyimpulkan pemindahan hanya menguntungkan provinsi tujuan, tapi belum tentu mengurangi ketimpangan di provinsi lain.
Peneliti dari Ekonom Rizal Taufikurahman di acara Indef itu mengatakan bahwa pemerataan tidak akan segampang itu. “Ini kan bukan memindahkan pabrik, tapi lebih banyak memindahkan aktivitas pemerintahan,” kata Rizal.
Sebelumnya, Bambang Brodjonegoro mengatakan pemindahan ibu kota dan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan memang ditujukan untuk mengurai ketimpangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Namun, kebijakan ini bukanlah satu-satunya upaya untuk mengatasi ketimpangan tersebut.
Namun, menurut Rizal, nantinya sektor yang lebih banyak berkembang di “ibu kota baru” hanyalah sektor administrasi, pertahanan, pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Tidak memiliki multiplier effect alias sektor produktif.
Ada usulan menarik dari anggota Komite Ekonomi Nasional (KEIN) Mohamad Fadhil Hasan. Menurutnya, pemerintah lebih baik menggunakan anggaran pemindahan ibu kota itu untuk membangun kawasan ekonomi di daerah-daerah dan ditambahkan ke anggaran pembangunan infrastruktur. Dengan cara itu, bisa mencegah urbanisasi terutama ke Jakarta, karena pertumbuhan ekonominya merata.
Begitulah, sejumlah pakar telah berbicara. Kita tunggu, apakah pemerintah tetap kukuh memindahkan ibu kota ke Kalimantan.